Sidi Ahmad Akarir az-Zayati, semoga Allah rida kepadamu dan semoga Ia merahmatimu, ketahuilah bahwa saya membaca salah satu suratmu dimana engkau berkata bahwa yang alim, Sidi Ahmad ibn Ajiba al-Manjari, semoga Allah merahmatinya, terlibat dalam membaca buku-buku Tasawuf, khususnya kitab Hikam karya Ibn Ata’allah, dan bahwa beliau membuat syarah untuk salawat dari Ibn Mashish. Jelaslah kepadaku bahwa engkau seperti dia dalam perihal itu. Karena itu, saya mengingatkanmu perihal mandek bersama mereka dalam apa yang telah terjadi itu. Bahkan jika mereka demikian indahnya, mereka juga bisa menjadi demikian buruknya jika seseorang mandek pada hal itu karena rahasia-sir tidak diperolehi dari buku-buku. Mereka diperolehi dari dada-dada, sebagaimana difirmankan dalam Al Quran Yang Agung: “Dan dilahirkan apa yang ada dalam dada.” (Surat Al Aadiyaat ayat 10)
Jelas bagiku bahwa waridat ilahi yang datang kepada al-Junayd, al-Jailani, al-Ghazali, asy-Syadzili dan Sidi Ali, pembimbing kami, dan mereka yang seperti mereka itu, semoga Allah meridai mereka semua, akan datang, insya Allah, kepada Sidi Ahmad Akarir dan Sidi Ahmad ibn Ajiba, kami dan yang lainnya jika mereka mengamalkan apa yang mereka ketahui. Itu diriwayatkan dalam hadis: “Jika seseorang beramal dengan apa yang dia ketahui, Allah akan mengkaruniainya ilmu yang tidak diketahuinya.” Janganlah engkau tertabiri dari apa yang engkau miliki oleh makna-makna yang dimiliki orang lain. Kalian berdua memiliki makna-makna sebagaimana lautan memiliki ombak-ombaknya. Kami ketahui bahwa jika seseorang beramal dengan apa yang diketahuinya, Allah akan mengkaruniainya ilmu yang tidak diketahuinya. Ibn Abil-Hawari meriwayatkan bahwa Shaykh-nya, ad-Darani, semoga Allah meridai keduanya, berkata: “Ketika diri-diri teguh dalam meninggalkan amal buruk, mereka bergerak bebas di alam malakut dan kembali dengan sarana-sarana hikmah tanpa pemiliknya berikhtiar mencari pengetahuannya.” Inilah urusannya para guru Sufi:
Hati-hati arifin memiliki mata yang melihat
apa yang tidak dilihat mereka yang memiliki mata jasadi.
Mereka memiliki lidah-lidah yang membisikan sir
yang tersembunyi dari katibin yang mulia.
Mereka memiliki sayap-sayap yang terbang tanpa bulu-bulu
ke malakut-nya Rabbal Alamin.
Sidi Ahmad al-Haddad al-Khumsi memperingatkan Sidi Ibn Askar, penulis kitab Dawha an-Nashir, ketika mereka sedang berbincang tentang Tasawuf, semoga Allah meridai mereka, dimana Ibn Askar menyatakan banyak kutipan dari perkataan para guru. Sidi Ahmad al-Haddad berkata kepadanya, Berapa lama lagi engkau akan berkata bahwa fulan ibn fulan berkata, dan fulan ibn fulan meriwayatkan? Apa yang dikatakan oleh dirimu sendiri? Dan dari diriku? Serupa pula, Sidi Ali ibn Maymun diingatkan oleh shaykh-nya, ar-Rayyas. Kami tidak mengingatkanmu perihal mencegah dari ilmu-ilmu deen ini sebagaimana yang engkau bayangkan, Sidi Ahmad Akarir, sebab Rabb kita hanyalah diibadahi melalui ilmu. Kami mengingatkanmu perihal mandek hanya di situ sebagaimana telah kami katakan. Bagaimana mungkin kami memperingatkanmu untuk mencegahmu dari ilmu karena tidak ada yang lebih mulia dari Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, sedang Baginda diperintahkan Allah Ta’ala setiap hari untuk memohon, “Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (Surat Thaahaa ayat 114) Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, bersabda, “Jika ada satu hari yang padanya tidak terkandung meningkatnya ilmu yang akan membawaku mendekat kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada keberkahan dalam menyingsingnya matahari di hari itu.”
Kami tidaklah tidak menyukai membaca kitab-kitab Tasawuf. Salah satu manfaatnya adalah pecahnya kebiasaan-kebiasaan/munculnya keramat. Mereka berkata, “Waspadalah terhadap majelis tiga kelompok orang-orang: penguasa tiran yang tidak peduli, pembaca-pembaca Al-Quran yang munafik, dan ahli Sufi yang jahil.”
Lagi pula, Sidi Ahmad, jikalah tidak karena ilmu, tidak seorangpun dari kita bisa memperoleh kebaikan dari apapun. Jika kita sungguh membutuhkan Rabb kita, hadiah-hadiah berupa ilmu-ilmu ilahi akan datang kepada kita dari-Nya sebagaimana hadiah itu telah datang kepada mereka yang telah membebaskan hatinya dari berbagai kesibukan. Shaykh Ibn Ata’allah, semoga Allah meridainya, berkata dalam kitab Hikam-nya, “Cahaya-cahaya dapat hadir kepadamu dan menjumpai hati itu dipenuhi berbagai bentuk makhluk. Jika demikian adanya, cahaya-cahaya itu kembali ke asalnya. Kosongkan hatimu dari segala sesuatu yang lain maka engkau jumpai hatimu dipenuhi makrifat dan sir.”
Saya katakan: “Demi Allah, Sidi Ahmad Akarir, tidak ada yang mencegah kita selain kurangnya kebutuhan kita kepada Rabb kita. Jika kita sungguh-sungguh membutuhkan-Nya, Ia akan menjadikan kita kaya sebagaimana Ia telah menjadikan para sahabat kita kaya karena Allah Ta’ala berfirman, “Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (Surat An Nur ayat 32) “Sesungguhnya sedekah itu bagi para fakir.” (Surat At Taubah ayat 60) Kerendahan diri dan kemiskinan adalah dua sifat yang kita butuhkan. Namun demikian, terasa amat berat bagi kita untuk menjadi miskin dan terhina, padahal satu-satunya jalan menuju kebebasan adalah melalui pintu kerendahan diri dan kemiskinan. Engkau haruslah memilikinya jika engkau ingin menang.
Hinakan dirimu kepada Dia yang engkau cintai dan engkau akan meraih kekuatan.
Berapa banyak lelaki telah memperoleh kekuatan melalui kehinaan!
Jika Ia yang engkau cintai Maha Kuasa dan engkau tidak menghinakan diri pada-Nya,
maka katakan selamat tinggal atas ketibaan.
Ibn al-Farid berkata:
Hinakan dirimu pada Dia yang engkau cintai. Cinta itu tak mudah.
Jika Sang Kekasih rida, maka ketibaan diijinkan bagimu.
Yang lain berkata:
Andainya kehinaan itu dimuliakan, betapa manisnya gairah itu bagiku!
Jika bukan karena kehinaan dalam cinta, aku tak akan berkuasa setitik pun.
Shaykh asy-Syadzili, semoga Allah meridainya, berkata: “Demi Allah, kami hanya menyaksikan kekuatan dalam kehinaan.” Kami berkata, “semoga Allah meridai kita, Demi Allah, kami hanya menyaksikan kehinaan dalam kemiskinan.” Sesiapa yang mau menghinakan dirinya haruslah menjadikan dirinya miskin di dunia ini dan terkucil dari khalayak, kecuali terhadap dia yang makamnya mengangkatnya dan perkataannya membimbingnya kepada Allah karena tidak ada yang lebih berat daripada itu. Bangkitlah kepadanya, Sidi Ahmad, namun jangan bangkit kepada yang lain, maka engkau akan menyaksikan keajaiban-keajaiban.
Berhati-hatilah terhadap perkataan, “Nanti, nanti.” Kemudian junjungan itu tiba dan yang lain bangkit mengikutinya dan meninggalkanmu sendirian bersama nafsumu, bermain-main bersama nafsumu. Kematian lalu tiba padamu dan mendapatimu kosong sendirian, tanpa iba, kasih sayang, dan kelembutan. Ia mencekikmu dan menarikmu pergi dari kehidupan dan membawamu kepada Rabb-mu apapun keadaanmu. Hanya Dia yang Maha Tahu akan keadaanmu karena engkau tidak tahu apa yang akan dilakukan-Nya padamu. Apapun itu, secara umum apa yang menguasaimu adalah rasa takut dan fitnah. Fitnah itu lebih buruk dari pembunuhan! (Surat Al Baqarah ayat 191)
Rahasia kemiskinan seperti yang kami sebutkan itu hanya dikenali oleh dia yang telah membuang cinta dunia dari hatinya. Perhatikan perkataan mereka. Sidi Ahmad ibn Askar berkata pada kitab Dawha, “Lebih dari seorang dari khalayak yang mulia di Meknes bercerita padaku bahwa mereka merasa putus asa dan pergi mendatangi Shaykh Abud-Dawail al-Mahjub, semoga Allah meridainya, untuk memintanya melaksanakan salat mohon hujan/istisqa bersama mereka. Beliau menjawab, “Tunggu saya sebentar sampai saya menemui kalian.” Beliau pergi ke rumahnya dan memberikan sebagai sedekah segala sesuatu yang beliau miliki di rumahnya itu. Ia tidak menyisakan sesuatu apapun. Lalu beliau mengenakan pakaiannya dan keluar menemui mereka. Beliau berkata, “Mari dimulai. Permintaannya sahih dan do’anya benar.” Ketika mereka kembali dari salatnya, bisa dikatakan terjadi banjir karena derasnya hujan. Inilah sesuatu dari rahasianya kemiskinan. Terdapat aneka hal ajaib dan dahsyat diantara rahasia-rahasianya. Firman Allah cukuplah bagi kita perihal rahasianya itu, “Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (Surat An Nur ayat 32) “dan Sedekah itu bagi para fakir.” (Surat At Taubah ayat 60) Shaykh Abud-Dawail al-Mahjub, semoga Allah meridainya, adalah salah satu Shaykhnya Shaykh Abdur-Rahman al-Madjdhub, semoga Allah meridainya.
Sidi Ahmad, perihal perilaku-perilaku yang engkau pedulikan, perilaku tersebut tidak tersembunyi. Hanya saja, kami ingin agar engkau memperhatikan apa yang kami katakan kepadamu. Jika engkau memiliki urgensi lahiriah, maka engkau tidak memiliki urgensi batiniah. Jika engkau memiliki urgensi batiniah, maka engkau tidak memilikinya pada lahiriahnya karena daya tidak mungkin muncul dalam dua arah sebagaimana telah kami katakan. Kami telah mengulang-ulang perkataan ini dan semoga ada seseorang yang memperhatikannya. Kami katakan di sebuah pengajaran bahwa kami tidak suka jika seseorang mengatakan. “Allah”, “Allah”, sepanjang waktu padahal keadaannya masih begitu haus pada dunia ini dan amat menyukai omong kosong. Kami menyukainya untuk melaksanakan sholat wajib dan yang sunah mu’akadah, meninggalkan apa yang bukan urusannya, dan senantiasa beramal dengan akhlak mulia. Jika ia mengatakan, Allah sekali, salawat sekali, atau membaca satu surat, itu lebih baik baginya daripada melakukannya seribu kali dalam keadaan buruk. Allahu Alam.
Sidi Ahmad, jika engkau memahami ini dan mengejarnya, maka engkau akan meringankan beban dirimu sendiri dan membawanya ke hadirat Rabb-mu. Tidak ada keraguan bahwa itu lebih dekat kepada takwa. Allahu Alam. Demikian pula rahasia merendahkan diri itu hanya dikenali oleh dia yang telah menyisihkan nafsunya seperti dia yang berkata, “Tarekat kami ini hanya bermanfaat bagi dia yang telah menyapu tumpukan sampah dengan ruhnya.” Tentu saja ada seorang shaykh dalam pengajaran ini dan pengajaran yang lainnya, dan Allahu Alam, karena mereka berkata, “Sesiapa yang tidak memiliki shaykh, maka setan itu shaykhnya.” Mereka juga berkata, “Siapa yang tidak memiliki shaykh, tidak memiliki kiblat.” Ibnu Shayban, semoga Allah meridainya, berkata, “Siapa yang tidak memiliki junjungan itu terhenti. Meninggalkan sarana (untuk bisa tiba) itu timpang. Mendasarkan amal pada mereka itu salah bimbing.”
Kami berpendapat, dan Allah Maha Tahu, bahwa sesiapa yang memperoleh keterbukaan dalam ilmu hakikat tanpa wahana-wahana yang memadai haruslah mengikuti Shari’ah khalayaknya, semoga Allah meridai mereka. Ia harus mengikuti salah seorang dari shuyukh mereka, yaitu dari para shaykh ilmu hakikat jika ia bisa menjumpai seorang diantaranya. Tidak seorang pun gagal menjumpainya kecuali dia yang mengandalkan opininya sendiri dan mengira bahwa ia tahu lebih banyak. Sedang tentang dia yang membutuhkan sang shaykh, saya berpendapat bahwa ia akan menjumpainya dimanapun ia berada, dekat atau jauh, di negeri-negeri Islam atau di persada kristen. Kebutuhannya kepada sang shaykh akan membawanya kepadanya dimanapun ia berada. Apakah sang shaykh yang akan mendatangi muridnya atau muridnya menemui sang shaykh. Yang Maha Kuasa akan membawa sang shaykh kepada muridnya atau muridnya kepada sang shaykh. Allah menjadi saksi perkataan kami.
Sedangkan tentang menempuh tarekat tanpa seorang shaykh, dengan hanya mengikuti opininya sendiri, demi Allah, ia seperti yang dikatakan Abu Hamid al-Ghazali, semoga Allah meridainya, dalam Bidayatul-Hidaya (Awal Bimbingan): “Jika si murid tidak memiliki shaykh, tidak ada sesuatupun yang dihasilkannya. Ia seperti sebatang pohon yang tumbuh di gurun. Pohonnya tumbuh namun tidak pernah berbuah.” Sedangkan dia yang berkata bahwa tidak ada lagi shaykh di hari ini, ia keliru dan berada dalam kesalahan. Perhatikan, Sidi Ahmad, kepada apa yang terjadi pada salah seorang ahli tarekat dari Timur ketika ia datang ke Maroko bertanya-tanya tentang sang Qutb/Kutub. Ia bertanya kepadanya tentang sang Qutb, dan beliau menjawabnya, “Jika saja Allah membukakan matamu, engkau akan menjumpainya berada di depanmu.”
Sedang mengenai pernyataan Shaykh Ahmad Zaruq yang diriwayatkannya dari shaykh-nya, al-Hadrami, semoga Allah meridai mereka berdua, kami belum pernah mendengarnya. Jika kami mendengarnya, kami tetap tidak akan menerimanya. Kami tidak mengenalinya dari Rabb kami. Kami menyaksikan barakah dari-Nya, atau kami bisa mengatakan bahwa hikmah tidak akan terputus sepanjang Kerajaan Allah ada. Allah Ta’ala berfirman, “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah pelindung maupun penolong.” (Surat Al Baqarah ayat 106 107)
Banyak fukaha dan yang lainnya telah menentang kami perihal ini. Akal kami tidak menerimanya dan dada kami tidak menjadi lapang atas hal itu di masa muda kami atas nikmat dan berkah dari Allah. Tarekat yang ditempuhi al-Hadrami, semoga Allah rida padanya, adalah cabang-cabang, bukan akarnya. Akarnya adalah tarekat Syadziliyya yang sahih bersih. Tidak ada seorang pun yang mengubahnya atau menukarnya hingga Hari Akhir. Sebagaimana yang dikatakan Shaykh al-Kharrubi at-Tarabulisi kepada Shaykh Umar ibn Abdul-Wahhab al-Hasani al-Alami, salah seorang keturunan sang Kutub besar, Moulay Abdus-Salam ibn Mashish, semoga Allah meridai mereka semua: “Tarekat ini memiliki para penjaga yang melindunginya dan memeliharanya yang berjaga hingga Hari Kebangkitan. Mereka adalah para Ahli Allah Ta’ala dan pembantu-pembantu deen-Nya. Allah telah memberi mereka ilmu lahiriah dan ruhaniah. Allah telah menolong mereka dengan AsmaNya, Maha Penolong (an-Nasr) dan AsmaNya, Maha Penjaga (al-Hafiz).”
Saya berpendapat bahwa engkau bisa mengenali hal ini dalam jawaban yang diberikan al-Kharrubi tentang keadaan kedudukan sang Qutb. Saya melihat sesuatu darinya pada tulisan tanganmu di akhir surat-surat kami yang ada padamu. Suatu hari, kami membahas tentang keadaan kedudukan sang Qutb dan meneladani sifat rahmat. Kami tenggelam demikian dalam hal itu, dan Allah telah menolong kami padanya karena kami tidak memiliki bukti tentang apa yang kami pikirkan mengenai keadaan kedudukan sang Kutub dan kami sungguh-sungguh tidak memiliki ilmunya. Rabb kami memberikan kepada kami dari yang gaib dan dari yang dekat, bukan dari yang jauh, dan dari makrifat, bukan dari selainnya. Ini hanya terjadi pada orang-orang yang keikhlasannya amat besar. Itu terjadi kepada kami. Alhamdulillah washukrulillah.
Kami tidak suka bahwa seseorang menutup pintu kepada Allah di hadapan wajah-wajah hamba Allah. Pintu itu senantiasa terbuka. Kami sangat tidak menyukai hal demikian itu. Allah menyaksikan perkataan kami. Kami hanya menyaksikan kebaikan pada dia yang melapangkan dan memudahkan hamba-hamba Allah melalui ayat-ayat dan hadis. Kami pun berpendapat bahwa Allah akan menyempitkan dia yang menyempitkan mereka, dan Allah melapangkan dia yang melapangkan mereka. Allah akan bengis kepada dia yang bengis kepada mereka. Allah akan memudahkan hal-hal bagi dia yang memudahkan mereka.
Tidak ada keraguan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa memutus ahli niat, cinta, keikhlasan sejati, dan sangka baik dari Rabb mereka. Tidak ada sesuatu pun menghalangi jalan mereka kepada-Nya. Mereka senantiasa berasal dari mereka kepada-Nya dan dari-Nya kepada mereka. Tidak ada sesuatu pun yang ada diantara mereka dan Dia Subhanahu wa Ta’ala! Penghalang itu tidak mungkin bagi-Nya, Subhanahu wa Ta’ala! Shaykh al-Busiri berkata dalam Burdah-nya:
Engkau menyampaikan nasehat tulus padaku, namun saya tak mendengarnya.
Sang kekasih itu tuli terhadap kritik.
Semoga Allah merahmati mereka! Mereka dan kami berpaling dalam tobat, dan selalu kembali, selalu bersafar, dan selalu bersalawat. Pintu kedermawanan itulah pintunya. Berapa banyak mereka yang tidak mengenali jalan yang sahih! Sedang dia yang ingin memasukinya melalui pintu yang lain, dia tidak akan bisa masuk karena Allah Ta’ala berfirman, “Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmatNya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.” (Surat Al Baqarah ayat 64) “Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan.” (Surat An Nisa ayat 83) “Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya.” (Surat An Nur ayat 21) dan selanjutnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala! yang mendekatkan dia pada-Nya tanpa suatu alasan, dan Ia menjauhkan dia yang dijauhkan-Nya tanpa suatu alasan. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (Surat An Nur ayat 40).
Salam.
