Siapa yang menunjukimu pada amal-amal syari’at pasti ia melelahkanmu, siapa yang menunjukimu pada dunia berarti ia menipumu, sementara siapa yang menunjukimu pada Allah berarti benar-benar telah memberimu nasihat.”

Shaykh Ibn Atha’illah Al-Iskandari rahimahullah dalam salah satu kitab nya yang berjudul Bahjat Al-Nufus (edisi bahasa Indonesia berjudul “Terapi Makrifat: Tutur Penerang Hati”, penerbit Zaman) pada bagian “Orang-Orang Pilihan” menjelaskan tentang manfaat mencintai orang-orang saleh.

Dalam sebuah hadist, diriwayatkan dari Anas radhiallahu’anhu menceritakan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah salallahu’alayhi wassalam, “Kapan kiamat tiba?” Rasulullah menjawab, “Apa yang sudah engkau persiapkan untuknya?”, “Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar itu, Rasulullah pun berkata, “Engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai.” Aku sangat mencintai Nabi salallahu’alayhi wassalam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama mereka karena cintaku pada mereka.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).

Ini adalah hadist yang menerangkan bahwa mencintai orang-orang saleh akan bermanfaat di dunia maupun di akhirat. Bermanfaat di dunia karena memberikan teladan yang baik, nasihat yang tulus, serta membantu dalam melaksanakan amal kebaikan dan dalam berakhlak dengan sifat-sifat terpuji. Adapun di akhirat kita akan dikumpulkan bersama mereka, digolongkan dalam kelompok mereka, dan mendapat syafa’at mereka. Karena itu, hendaknya engkau memilah-milih siapa orang yang layak dijadikan sahabat. Sebagaimana untuk kepentingan tubuh, engkau memilih makanan yang baik dan tidak berbahaya, serta memilih istri yang salehah, hendaknya engkau juga berteman dengan orang yang bisa menunjukimu jalan menuju Allah.

Ada yang berkata, “Siapa yang menunjukimu pada amal-amal syari’at pasti ia melelahkanmu, siapa yang menunjukimu pada dunia berarti ia menipumu, sementara siapa yang menunjukimu pada Allah berarti benar-benar telah memberimu nasihat.” Karena itu, bertemanlah dengan seseorang yang bisa menunjukkan kelalaian dirimu dan mengajarkan ma’rifat pada Tuhan. Sehingga ketika engkau lalai, engkau akan diingatkan pada Tuhan. Allah berfirman, “Ingatlah Tuhanmu ketika engkau lupa.” (Q.S. Al-Kahf [18]: 24).

 


Tentang Shaykh Ibn Atha’illah rahimahullah:

Yang Arif kepada Allah, Shaykh Taju’d-din Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn ‘Ata’Allah al-Iskandari, semoga Allah menyucikan sirnya, wafat 707 H.

Sayyidi ‘Abd al-Wahhab ash-Shar’ani berkata di kitabnya, (diterjemah sebagai), Kelompok para Awliya yang mulia, sebagai berikut:
‘Diantara mereka adalah Shaykh Taju’d-din Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn ‘Ata’Allah al-Iskandari, semoga Allah meridhainya. Beliau seorang zahid ahli zikir yang mulia, dan murid dari Shaykh Yaqut, semoga Allah Ta’ala meridhainya, dan sebelumnya murid kepada Shaykh Abu’l-‘Abbas al-Mursi, semoga Allah Ta’ala meridhainya.
Beliau memberikan manfaat kepada khalayak melalui bimbingannya. Perkataannya terasa manis dan lembut bagi jiwa-jiwa. Beliau wafat di 707 H, dan kuburannya ada di Qarafa (Kairo) terus diziarahi.

Beliau menulis Kitab at-Tanwir fi isqat at-tadbir, al-Hikam (kitab standar pengajaran tasawuf di berbagai penjuru dunia), Lata’if al-Minan dan lain-lain. Semoga Allah Ta’ala meridhainya!

Dikutip dari buku “Self Knowledge”, penerbit Madinah Press, halaman 23.

Beliau juga merupakan Mursyid ketiga tariqat Syadziliyyah setelah Shaykh Abu Hasan as-Syadzili dan Shaykh Abu’l-‘Abbas al-Mursi, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua dan semoga kita memperoleh keuntungan darinya. Amin. Beliau bermazhab Maliki dalam fiqih dan bermazhab Ashyari dalam aqidah. (Peny.)