Dari nasehat Shaykh Abdalqadir al-Jaylani rahimahullah dalam al-Fath al- Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani (Pendar Kearifan, Penerbit Serambi, hal. 45).

Satu pertanyaan dilontarkan kepada Shaykh, “Kapan al-qabdh menjadi al-basth?” (Al-qabdh ialah ‘kesempitan’ spiritual ketika hati digenggam dan disempitkan Allah melalui teror hukuman dan celaan. Al-basth ialah keadaan lapang atau lega yang muncul dengan sendirinya dalam keadaan penyingkapan / kasyf).

Shaykh menjawab, “Bila Allah memberi kelapangan atau keleluasaan kepadamu, maka engkau berada dalam al-basth. Keadaan rukhsahmu (keringanan yang diberikan Allah karena kondisi sulit) beralih menjadi ‘azimah (hukum yang standar tanpa keringanan). Azimah-mu menunjukkan engkau berada dalam al-basth. Bila seluruh keadaanmu menjadi azimah, maka Allah akan memasukkanmu ke dalam zona al-fadhl (karunia) dan al-uns (akrab dengan-Nya), saat itulah engkau berada tanpa rukhsah dan tanpa azimah, seluruh perbuatanmu tajrid (Tajrid ialah penarikan diri sepenuhnya dari segala sesuatu selain Allah, di dalam hati dan di dalam sir).

Perumpamaanmu seperti orang berdiri di tempat makan yang didalamnya bermacam makanan dihidangkan. Tetapi dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke rumah yang lain. Santap semua hidangan yang ada di sana.’

Rukhsah itu untuk orang yang kurang dapat memanfaatkan usianya untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan azimah untuk orang yang imannya telah sempurna. Tetapi kerajaan Allah diperuntukkan bagi kaum yang fana (ada tiga fana utama, fana’ fi al-mursyid, fana’ fi al-rasul, dan fana’ fi Allah).”