Oleh : Shaykh Abdalqadir as-Sufi
Surat ke 73 Al-Muzzammil (Yang Berselimut) ayat 1 s/d 11 :
“Hai orang yang berselimut (Muhammad); Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya); (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit; Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil; Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu Perkataan yang berat; Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan; Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak); Sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati; (Dia-lah) Rabb masyrik dan maghrib, tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung; Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik; Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.”
Tafsir Ibn Juzayy atas surat ini menjelaskan tentang awal wahyu ini bahwa Allah, subhanahu wa ta’ala, langsung mengalamatkan kepada Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim. Surat ini merujuk kepada Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, yang berselimut dengan mantelnya setelah diwahyukannya Surat Al-‘Alaq, dengan turunnya ayat pertama, Iqra’. Allah memerintahkan Baginda untuk berdiri melaksanakan shalat malam. Juga berfirman tentang membaca dengan tartil, yaitu pengucapan Al Quran dengan jelas. Allah, subhanahu wa ta’ala, memerintahkan Rasul agar Baginda membaca Al Quran dengan pengucapan yang jelas. Inilah perintah yang kita semua harus taati ketika membaca Al Qur’an. Yang dapat kita peroleh dari sini adalah walau Allah, subhanahu wa ta’ala, secara khusus mengalamatkan kepada Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, padanya kalian peroleh contoh sejati dari tasawuf. Inilah contoh sejati Sufisme-nya Islam dalam kondisi terbaiknya. Hal ini tidak bisa didebat karena didasarkan kepada Sunah mulia ini dan perintah-perintah Allah, subhanahu wa ta’ala, kepada Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim.
Allah berfirman:
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati; (Dia-lah) Rabb masyrik dan maghrib, tiada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung.”
Maka itulah tujuannya. Yaitu, apa yang dialamatkan kepada Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, dan diterima oleh muslimin sebagai sebuah Sunah Rasul. Itu diterima oleh muslimin dan merupakan sebuah perintah kepada mereka. Dengan kata lain, tiap-tiap bacaan Al Quran masing-masing orang, berasal dari ayat ini yang menyatakan untuk membaca Al Quran dengan tartil, sehingga setiap pengucapan hurufnya jelas. Dan di saat yang sama digambarkan Rasul muzzammil, sebagai yang berselimut. Bagi ahli tasawuf ini merujuk pada citra, siluet, dari insan yang telah berpaling dari dunia dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia, dan sepenuhnya menyelimuti dirinya sendiri dalam mengingati Allah, subhanahu wa ta’ala.
Kita lanjutkan dari ayat-ayat Al Quran yang penuh barakah ini kepada kalimat-kalimat dari Diwan-nya Shaykh kita yang diberkahi, Shaykh Muhammad ibn al-Habib, radiya’llahu anhu, yang dimakamkan di Meknes, dan mengajar di Fez, Meknes dan di gurun-gurun dan kota-kota Aljazair dan Maroko yang berada di seberang ujung Afrika dari tempat kita duduk sekarang. Dalam Qasida Wusta, beliau berkata:
Di kedai Hadiratnya kami meminum suatu arak.
berupa cahaya-cahaya yang benar-benar menghapus kegelapan.
Shaykh di sini sudah langsung menggunakan sebuah bahasa khusus, dan bahasa ini adalah bahasanya para Sufi. Inilah bahasanya Burda dan tentu saja, hubungan dari Burda dan Muzzammil begitu jelasnya bagi kita semua karena Burda adalah jubah Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim. Di sini dimana beliau berkata, “Di kedai Hadiratnya”, beliau menggunakan bahasa ini untuk menjelaskan kepada mereka yang tahu perihal ini dan telah menempuhi perihal ini, yakni tasawuf. Ini bukanlah sebuah sentimen, bukanlah sebuah klub, bukan perihal tariqatnya atau Shaykh-nya atau wiridnya atau wazifanya, itu sesuatu yang lebih mendalam daripada itu. Ini adalah komitmen si faqir untuk memperoleh ilmu kepada Rabb-nya. Ilmu kepada Rabb-nya bermakna Hadrat al-Rabbani, hadirat Rabb-nya.
Beliau menyebutkan keadaan memanggil kepada Allah layaknya si peminum di kedai minum dan sedang meminum arak yang akan memabukkannya. Inilah bahasanya para sufi, dimana kemabukkannya adalah kemabukkan cinta. Inilah mabuknya kerinduan, dambaan, ishq.
Darinya kita memahami…
Dan kini beliau menjelaskan apa yang telah diterimanya dan apa yang diberikan seseorang menyelimuti dirinya dengan jubah, mengikuti teladan Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, diberikan bagian dari dirinya, bukan pada porsinya Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, karena Baginda itu adalah yang pertama dari bani Adam.
… bahwa setiap tindakan dalam tiap-tiap atom
adalah karena Penciptanya yang diibadahi di mana pun.
Beliau berkata bahwa kita diberikan satu tauhid yang bukan intelektual, yaitu sebuah pemahaman yang membawa seluruhnya kepada ciptaan, terdapat dalam tiap-tiap atom. Ia hanya harus berfirman kepada sesuatu Kun fa-yakun dan tindakan itu adalah satu tindakan yang membuat segala sesuatu wujud dalam ciptaan, memelihara segala sesuatu dalam ciptaan, dan mencabutnya dari ciptaan melalui kehancurannya. Inilah Kekuasaan Allah, subhanahu wa ta’ala, dan melalui cahaya itulah kita memahami bahwa Tindakan-Nya ada di dalam tiap-tiap atom adalah karena Penciptanya yang diibadahi di mana pun.
Kami menyadari, kami diberi hakikat dari faktanya, bahwa Allah mewujud pada segala sesuatu melalui Asma al-Husna-Nya dan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya.
Sebagaimana Allah, subhanahu wa ta’ala, telah berfirman di Al Qur’an Surat ke 2 Al Baqarah ayat 114 :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi lagi Maha Mengetahui.”
Rahasia-rahasia kekuasaan berada dalam Kun fa-yakun.
Hanya saja, makam-makam kehidupan sedemikian banyaknya, dan karena itu tabir-tabir besar turun di atas hikmat.
Dan Sang Maha Pengasih telah mengirimkan bunga terindah makhluk-Nya sebagai seorang pembawa berita gembira dan seorang pemberi peringatan, seorang penunjuk jalan dengan mata batin.
Jika kalian ingin memperoleh hadiah berupa kebahagiaan maka jadikanlah dia (Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim) penunjuk jalan bagi setiap pikiran dan gerakmu.
Katakan pada denyut-denyut nafsumu: “Jangan ikut bersamaku.
Jangan memotong rintisku kepada Rabb-nya ciptaan.”
Maka beliau berkata, jika kalian menginginkan ketenangan ini, ketentraman ini, kalian harus berkata, “Jangan ikut bersamaku.” Kepada siapa kalian katakan itu? Kalian mengatakannya kepada nafsu kalian, “Hai nafsu, jangan ikuti aku.” “Biarkan aku, berhenti menggerutu dan menarik-narik diriku dan menjadikan aku gelisah dan membuatku khawatir, biarkan saya.” “Jangan memutus jalanku kepada Rabb manusia.”
Dengan kata lain, yang memutusmu dari jalan kepada Rabb manusia adalah dirimu sendiri. Si faqir menjawab kepada Rabia al-Adawiya, wali wanita mulia di Basra, ketika ia bertanya ada masalah apa dengan dirinya, “Saya menunggu pintunya terbuka.” Rabia menamparnya. Beliau menjawab, “Kata siapa pintunya tertutup?” Ternyata dirimu sendiri yang memutusmu dari Hadirat Ilahiah mulia ini.
Dan kemudian beliau menasehatimu, dan beliau memberikan seluruh tariqatnya dalam tiga kata berikut. Beliau berkata:
Sesiapa yang memiliki zikir, pikir dan himma
akan senantiasa di tiap waktu berada di atas keberadaan yang selain-Nya.
Keberadaan selain-Nya bermakna, berpikir bahwa ada yang selain Allah. Karena tidak ada yang selain Allah dalam kebenaran. Ia akan ingat Hadrat al-Rabbani, hadirat Rabbi. Bahwa Rabb-nya mewujud di setiap atom. Dalam Kasidah Panjang dari Diwan Shaykh Muhammad ibn al-Habib, beliau berkata,
Berhati-hati jangan kalian memandang hina bahkan kepada atom yang paling kecil pun..
Benda-benda tidak memiliki kehidupan kecuali melalui Rabb-nya.
Ya Hayyu! Ya Qayyum! Bukti terfasih-Mu Sendiri!
Tiga hal itu adalah: dhikr – zikir, fikr – pikir dan himma – aspirasi tinggi. Dhikr itu menyebut Allah, subhanahu wa ta’ala, dengan lidahnya. Zikir terbesar adalah Ism al-Mufrad. Asma mufrad Allah, subhanahu wa ta’ala. Cara terbaik menyebut Ism al-Mufrad adalah dengan Ism al-‘Adhim, yaitu menyebut Asma Allah yang diperpanjang dan meluas, Allaaaaaaaah, sesusai cara yang kita peroleh dari Shaykh Shadhili, dan dari Moulay al-‘Arabi al-Darqawi, dan dari Shaykh Mustafa al-‘Alawi, radiya’llahu anhu, dan dari Shaykh Muhammad ibn al-Habib, radiya’llahu anhu, yang tinggal di Meknes.
Ism al-Mufrad itu menyebutnya secara pendek seperti detak jantung, Allah, Allah, Allah. Diucapkan dengan menggunakan tasbih. Inilah mengingati itu dan tidak membiarkan dirimu lupa di Hadirat Rabbi. Ism al-‘Adhim itu digunakan untuk memperdalam rasa ini dengan menyebut Asma, Allaaaaaaah. Inilah zikirnya.
Fikr, pikir itu ialah tafakur. Tafakur adalah mengembalikan segalanya kepada Allah, sehingga jika kalian menatap dunia maka tidak tampak suatu pertentangan apapun. Sehingga jika yang bertentangan hadir maka kalian melihatnya juga berasal dari Allah. Para Sufi berkata, Alhamdu lillahi ‘ala kulli hal. Segala puji bagi Allah di setiap keadaan. Saya memberikan sebuah contoh dari seorang Sufi besar, Sidi Hamoud dari Blida di Aljazair. Beliau adalah seorang pria yang sudah sepuh dan saya hadir bersamanya ketika mereka membawakan kabar bahwa dua anak laki-lakinya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Sesaat berlalu sesudah mereka menyampaikan kabar itu, dan beliau berkata, Alhamdulillah! Hadirin terkejut karena mereka mengira bahwa beliau merasa gembira dengan kabar itu, namun yang beliau maksudkan adalah bahwa dalam situasi seperti itupun, saya memuji Allah. Dan itulah yang membuat setiap orang yang hadir ketika itu luluh karenanya. Karena itu menunjukkan bahwa beliau tidak sesaat pun lalai, dan beliau mengembalikan urusannya kepada Allah, subhanahu wa ta’ala.
Dan sebuah contoh lain dari hikmah itu berasal dari salah seorang jamaah kita. Mereka baru saja dikaruniai seorang bayi dan ketika ibunya berpaling mengurus hal lain, terjadilah sesak napas tak terjelaskan pada bayinya sehingga ketika ia menengok kembali, bayinya sudah wafat. Wanita ini mengalami syok/renjatan. Pada saat itu ada seorang wanita alim yang sedang bersamanya yang langsung menarik dan membawanya ke kamar mandi untuk segera berwudu. Wanita muda itu sedang syok, ia baru saja kehilangan bayinya, dan wanita alim ini menyuruhnya untuk berwudu, lalu berkata, “Ayo. Sholat dua rakaat.” Tidak ada telpon-telpon polisi atau dokter, bayinya sudah wafat. Wanita alim itu menyuruhnya melaksanakan sholat dua rakaat dengan penuh pengagungan. Sesudahnya, ibu muda itu berkata, “Jika bukan karena kehadiran Hajja Khayriyya saya pasti tidak mampu mengatasi keadaan di saat itu. Karena kehadirannya maka saya mampu mengatasi keadaannya dan memahaminya.” Yaitu bahwa dalam keadaan terburuk tetap mampu mengingati Allah, Alhamdulillahi ala kulli hal. Inilah tasawuf. Tasawuf itu bukan sebuah klub, bukan pula sebuah kesetiaan kepada seseorang yang tinggal di tempat yang jauh. Tasawuf itu ialah ilmu kepada Allah, subhanahu wa ta’ala.
Dhikr – zikir, fikr – pikir, dan hal ketiga, yang menurut beliau akan membuatmu lupa pada yang selain-Nya, bahwa ada sesuatu selain-Allah dan bahwa peristiwa itu berada dalam ketetapan Allah, ialah himma. Himma bermakna kerinduan. Himma berarti mendamba. Itulah perbedaannya antara sang Sufi dan si faqir. Si faqir mengikuti jalannya sang Sufi, sedang sang Sufi mendamba hadirat Rabb-nya. Ia merindu Sang Kekasih. Dalam dirinya terbangun sesuatu yang mulai hidup di dalam dirinya. Kalbunya menjadi hidup. Dalam bahasa ahli Sufi, mereka mendatangi Shaykh-nya dan mereka akan berkata, “Buatkan kami sebuah hati.” Buatkanlah agar kalbu itu berfungsi sesuai tujuan penciptaannya yaitu merindu kepada Allah, subhanahu wa ta’ala.
Imam Junayd, radiya’llahu anhu, berkata bahwa Allah, subhanahu wa ta’ala, mengumpulkan seluruh ruh sebelum penciptaan alam dunia, seluruh arwah, dan berfirman, di Al Quran surat ke 7, Al Araaf ayat 172 :
“Alastu bi-Rabbikum?
Mereka menjawab, Kami bersaksi bahwa Engkau Rabb kami!”
Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim bersabda, “Manusia tertidur dan ketika mereka wafat mereka terbangun.” Para Sufi ialah mereka di antara fuqara yang mulai terbangun dan yang mulai mengingati dari dalam dirinya sendiri, sel-selnya mengingat sebuah perjanjian purba, sebuah akad kuno, yang telah mereka buat sebelum penciptaan alam. Ruh mereka, ketika ditanyai, “Alastu bi-Rabbikum?” Telah menjawab, “Kami bersaksi bahwa Engkau Rabb kami.” Itulah awal dari akhir sesuatu pada para Sufi itu dan sesuatu yang baru yang senantiasa bergerak dimulai. Kalbunya senantiasa bergerak.
(Bersambung…)