Lawa’ih berarti pancaran-pancaran cahaya lahiriah. Shaykh al-Akbar menyebutnya sebagai “Ialah apa yang memancar dari rahasia-rahasia lahiriahnya, dari ketinggiannya, dari satu keadaan ke satu keadaan. Bagi kita, ialah apa yang bersinar ke mata, ketika ia tidak terbatasi oleh apa yang ada pada lahirnya dan dari cahaya-cahaya merasakan, bukan berasal dari arah hati.”

Inilah isyarat pertama tertembusnya kesadaran. Bentuknya seperti kilatan-kilatan, semburan-semburan kemilau yang seakan menyerbu masuk dalam suatu kancah yang gelap. Mereka harus diabaikan dengan cara apapun. Dalam perubahan awal apa yang kita sebut sebagai perubahan posisi si pengawas maka terjadilah berbagai pengaruh fisiologis. Mata lahir haruslah berhenti mengirimkan gambar-gambar jika ingin mata batin bekerja dalam hati. Namun, dahsyatnya kecepatan perubahan dari indra lahir duniawi kepada indra batin ruhani, meninggalkan jejak-jejak seakan seperti suatu aliran yang amat deras, berbagai impuls dari tubuh dan sistem syaraf. Namun, ini belumlah -bagaimanapun juga- makna batin ruhani, yang menjadi tujuan kita.

Inilah yang dimaksud dalam Diwan Shaykh Ibn al-Habib, ketika ia berkata, memakai istilah lain, “Jangan berhenti pada pancaran-pancaran lahiriah pertama, ataupun dengan segala sesuatu yang mungkin kau rasakan dalam keadaan ini.”

Shaykh Ibn Atha’illah berkata dalam Hikam, “Kadang kala cahaya-cahaya mendatangimu dan engkau dapati hati penuh berbagai citra makhluk lain sehingga cahaya itu kembali ke tempat asalnya.”