Dunia inilah yang menjadikan kita jauh dari Rabb kita walau sebenarnya kita amat dekat pada-Nya – kecuali bagi pribadi unik yang amat jarang diantara kita. Saya mendengar junjunganku, semoga Allah meridainya, berkata, “Dunia ini telah menyelusupkan dirinya ke dalam ilmunya para ulama dan kemiskinannya para fakir. Tanyailah mereka tentang hakikat apa yang mereka miliki.” Perihal ini memang seperti apa dikatakan beliau, semoga Allah meridainya. Demi Allah, dunia pun mampu merampok Para Rijal. Bagaimana kepedulianmu kepada keluargamu? Perhatikan dan dengarlah apa yang kami peroleh ketika kami berpaling dari dunia ini dan berpaling menghadap Rabb kita.

Demi Allah, tidaklah kami menatap seseorang dengan berniat agar dia kembali dari keadaan lalai kepada keadaan zikir maka keadaannya langsung berubah sesuai seperti yang kami inginkan. Itu bukan karena kemauan kami atau kemauannya. Itu terjadi karena kehendak dan perintah Allah. Kemudian, ketika kami kembali kepada dunia dan menyibukkan diri dengannya, demi Allah, maqam kami dicabut – padahal maqamnya itu seperti maqamnya wali Allah Ta’ala, Sidi Abu Madyan al-Ghawth, semoga Allah meridainya. Kami kembali kepada perilaku kami di hari-hari penuh kelalaian, atau bahkan lebih buruk darinya, maka perhatikanlah, wahai kalian yang memiliki mata!

Hanya saja, urusan dunia ini tidak mudah bagi kami dan tidak satu pun yang berjalan baik bagi kami berkat barakah salah satu ahli Tarekat yang kami terikat padanya. Saya menyaksikan apa yang terjadi pada dua pria mulia setelah mereka dimuliakan dengan ketibaan pada tujuan. Dunia ini menarik perhatian mereka dan membawa mereka kembali kepadanya. Hanya saja, Allah menyelamatkan mereka darinya setelah dunia berhasil menguasai mereka. Keduanya berlari menjauhi dan meninggalkannya. Itu terjadi karena barakah salah seorang ahli Tarekat, semoga Allah meridai mereka, yang mana keduanya terikat padanya.

Saya menyaksikan seorang mulia yang kami saksikan telah dikuasai dunia ini. Dia tidak berpaling darinya dan dia wafat ketika dia masih menjadi budaknya. Shaykhnya, ternyata sudah wafat dan tidak lagi hidup. Saya tidak tahu apakah sahih atau tidak untuk menyambungkan diri dengan seorang shaykh yang telah wafat. Tidak ada keraguan bahwa saya telah menyaksikan khalayak yang menggabungkan diri mereka dengan wali besar dan arifin terkenal, Moulay ‘Abdu’l-Qadir al-Jilani, semoga Allah memberi kita keuntungan darinya. Mereka mengaku bahwa beliau adalah shaykh mereka walaupun mereka masih hidup dan beliau, semoga Allah meridainya, telah wafat.

Kami berpikir bahwa mereka sesungguhnya berniat agar Allah Ta’ala memberikan mereka rahmat kepada mereka karena cinta kepada beliau dan ketergantungan mereka padanya. Ini adalah sebuah niat yang baik. Seseorang berharap memperoleh kebaikan darinya karena niat seseorang itu lebih baik daripada amalnya sebagaimana diriwayatkan dalam Sahih, “Amal-amal itu sesuai niat-niatnya. Tiap-tiap orang melaksanakan apa yang diniatkannya.” Seandainya mereka berniat selain dari apa yang telah kami katakan, maka niat mereka itu seperti dia yang mengkaitkan dirinya kepada dia yang hidup yang telah mencapai ketibaan dengan harapan bahwa mereka akan dimampukannya untuk mencapai Rabb mereka. Hanya seseorang yang tidak berilmu yang tertipu dengan perkara itu. Jika itu sahih, Junjungan kita, Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wasalam, sudah mencukupi bagi kita semua dan kita tidak membutuhkan seorang lain pun karena Bagindalah yang paling pantas dalam urusan kita ini.

Tidak seorang pun yang tidak membutuhkan seorang shaykh dalam tiap-tiap disiplin ilmu, khususnya dalam disiplin Tasawuf. Ahli Tarekat, semoga Allah meridai mereka, berkata, “Sesiapa yang tidak memiliki Shaykh, setan itulah shaykhnya.” Ibn Shayban, semoga Allah meridainya, berkata, “Sesiapa yang tidak memiliki junjungan itu terhenti. Meninggalkan sarana (ketibaan) berarti kurangnya kesetimbangan yang memadai. Mendasarkan amalan pada kurangnya kesetimbangan adalah salah bimbingan,” dsb. Sesiapa yang mengaku-aku bahwa dia tidak perlu seorang shaykh, telah berpaling dari pintunya dan berpaling menghadap dinding. Andai saja kita telah memelihara apa yang dibawa kepada kita dari Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wasalam, dan hati-hati kita serta anggota tubuh kita tidak menentangnya sama sekali, kita bisa saja tidak membutuhkan Rasulallah sallallahu ‘alayhi wasalam, atau pun demi Allah, sang shaykh. Kita telah malih* dan merubah hingga hati-hati kita ladah** dan tercemar dan kita telah tercebur ke dalam kekeruhan. Bagaimana mungkin kita tidak membutuhkan sang shaykh? Ini hanya dikatakan oleh seorang yang sombong, jahil atau puas pada dirinya sendiri.

Salam.

 


Catatan :

*) ma·lih Jw v berubah; bertukar (rupa dan sebagainya)

**) la·dah Mk a cemar; kotor; jijik