Shaykh Abdalhaqq Bewley, pada kunjungannya baru-baru ini kepada fuqara Qadiriyya di Cape Town, Afrika Selatan, menyampaikan sebuah daras penting yang secara tepat menggambarkan perjalanan Shaykh Abdalqadir as-Sufi dalam menempuh Din Islam.
Diunggah pada 21 Desember 2021.
(Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Muqadim Malik Abdalhaqq Hermanadi)
Segala puji bagi Allah yang telah membimbing kita ke majelis mulia ini dan yang sekali lagi membawa saya ke kota mulia ini, tempat yang diberkahi ini, yang kini semakin diberkahi dengan adanya pesarean Shaykh yang kita cintai ini.
Saya ingin, dengan ulasan besar, memperhatikan perjalanan yang ditempuh Shaykh kita, Shaykh Abdalqadir as-Sufi, rahimahullahu ta’ala, semoga Allah meninggikan derajatnya, sepanjang hidupnya, perjalanannya menempuh Din ini.
Sejak sebelum saya mengenal beliau, beliau itu senantiasa dilimpahi suatu gairah kuat menginginkan Hadirat Ilahi, bisa kita katakan amat sangat mencintai Allah. Dan inilah yang membawanya pertama kali kembali ke Islam lalu pada perjalanannya ke Shaykh-nya, Shaykh Muhammad Ibn al-Habib, rahimahullah ta’ala. Ini seluruhnya jelas terpampang dalam buku karya pertamanya setelah menjadi Muslim, berjudul The Book of Strangers (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul ‘Yang Asing dan Terasing’). Pada buku ini, disebutkan ada sebuah tempat dimana sang protagonis di buku ini yakni Shaykh Abdalqadir sendiri, bersujud, berserah diri sepenuhnya kepada Rabb-nya, di sebuah taman di malam hari. Itulah perwujudan dari gairah kuat yang dimilikinya kepada Hadirat Ilahi.
Setelah beliau menjadi Muslim, cinta kepada Ilahi ini mengembang menjadi satu gairah cinta mendalam kepada Rasulallah, salallahu ‘alayhi wa salam, yang menemukan perwujudannya pada buku kedua karyanya, The Way of Muhammad. Dan cinta ini sedemikian walah*nya. Saya pernah menghadiri majelis seperti ini, dimana Shaykh kita berdaras tentang Nabi, salallahu ‘alayhi wa salam, dan seluruh hadirinnya berlinangan air mata mendengarkan apa melimpah ruah darinya. Dan cintanya kepada Baginda Nabi, salallahu ‘alayhi wa salam, itu benar sahih karena Baginda Nabi, salallahu ‘alayhi wa salam telah bersabda dalam satu kejadian kepada seseorang yang mengatakan bahwa ia mencintai Baginda, “Berhati-hatilah! Karena kemiskinan tiba kepada seseorang yang mencintaiku lebih cepat dari datangnya sebuah banjir di dasar gunung.” Dan Shaykh kita telah mengalami itu. Di satu titik di masa itu beliau kehilangan semuanya. Beliau, radiallahu ‘anhu saat itu benar-benar hanya memiliki pakaian yang dipakainya.
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang meliputi beliau dan yang mengalir deras melaluinya membawa beliau kepada Shaykh keduanya, Shaykh al-Fayturi hingga ke puncak perjalanannya: perjumpaan dengan Rabb-nya dalam khalwa ketika beliau menjabat tangan Shaykh al-Fayturi. Semua ini diekspresikan pada buku babon beliau tentang Sufisme, The Hundred Steps (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan segera diterbitkan dengan judul ‘Seratus Langkah’) yang menjelaskan perjalanan beliau kepada Rabb-nya yang merupakan bagian pertama perjalanan beliau dalam Islam.
Ketika beliau keluar dari khalwa, muncul dari pengalaman kewalahan absolut itu, beliau meminta nasehat dari Shaykh al-Fayturi, yang berkata kepadanya, “Kemana lagi bisa pergi setelah Mekkah, kecuali ke Madinah.” Dan dari jawaban itu, Shaykh kita memperoleh ilham luar biasa yang mempengaruhi seluruh sisa hidupnya. Beliau mengenali bahwa pengalaman luar biasa ini, hakikat Hadirat Ilahi, haruslah memiliki sebuah wadah yang kokoh, jika tidak, maka seperti dalam bahasanya para Sufi, maka itu akan seperti arak anggur yang dituangkan ke tanah, lenyap tanpa diperoleh manfaat apapun. Arak anggurnya harus memiliki sebuah cangkir. Hakikatnya haruslah disertai syari’atnya. Beliau memahami dari perkataan Shaykh al-Fayturi bahwa beliau harus menemukan kembali wadah bagi kearifan yang telah diperolehnya, dan wadah dari kearifan itu harus ditemukan di Madinah.
Maka Shaykh kita berangkat, secara maknawi, ke Madinah dan menemukan di sana ekspresi terbersih syari’ah dalam Mazhab Amal Ahli Madinah. Dan penemuan ini, kemudian memperoleh ekspresinya dalam karya babonnya, Root Islamic Education (telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul ‘Akar Pendidikan Islami’), yang kemudian mendasari segala sesuatu yang beliau lakukan sejak saat itu. Beliau menemukan wadah yang beliau cari pada Mazhab Madinah, Mazhab Umar (Amirul Mukminin Sayyidina Umar Ibn Khattab radiallahu ‘anhu), yang dicatat oleh Imam Malik dalam karya mulianya, al Muwwata.
Setelah menemukan kembali hal itu, setelah menemukan wadah yang dicarinya bagi ilmu Allah tersebut, maka menjadi perlu untuk menerapkannya, melaksanakan praktek syari’ah dalam bentuk tersebut. Beliau kemudian melakukan pertama-tama dengan memberlakukan bagi komunitas-komunitas beliau sebuah struktur politik, sebuah struktur yang akan memampukan syari’at ditegakkan pada komunitas-komunitas tersebut. Beliau merombak struktur tarekat, yang hingga saat itu mendasari komunitas tersebut, dan menciptakan pada komunitas beliau sebuah struktur politik baru yang didasarkan pada amirat, yang telah berlaku sejak saat itu hingga saat kita berada kini. Sebabnya ialah agar syari’atnya dapat ditegakkan di kalangan komunitas beliau melalui keberadaan amirat.
Setelah menetapkan struktur politik untuk komunitas beliau agar syari’at dapat ditegakkan dengan dasar benar di kalangannya, beliau memperhatikan dunia Muslimin dan menyaksikan sebuah keberantakan. Di manakah syari’at berlaku di dunia Muslimin? Dimanakah perwujudannya? Mengapa Muslimin berada dalam kisruh sedemikian rupa? Mengapa Din ini tidak tegak dimana pun? Lalu beliau memperoleh ilham luar biasa berikutnya. Beliau menyaksikan bahwa musuh-musuh Islam telah menaklukkan pelaksanaan Din bukan melalui kekuatan senjata. Mereka menaklukkan pelaksanaan Din melalui suatu pembajian** antara Salat dan Zakat, dengan memisahkan ibadah dari muamalah, dengan memisahkan antara aspek politik, sosial dan ekonomi Islam dari unsur-unsur din dan spiritualnya, dengan mendirikan suatu dinding yang tak bisa dilintasi antara masjid dan pasar. Maka dimulailah kerja beliau untuk menegakkan kembali, menyatukan sekali lagi, zakat dan salat.
Ingat bahwa salat dan zakat tidak terpisahkan di Al-Qur’an, keduanya difirmankan bersamaan lebih dari tiga puluh kali. Salat dan zakat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena musuh-musuh Islam, Muslimin telah menggulingkan dan memisahkan ibadah mereka dari muamalah mereka, amalan ibadah mereka dari perilaku politik dan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadikan Muslimin tidak berdaya dan lemah di dunia. Jadi Shaykh kita, semoga Allah meridainya, berupaya menyatukan kembali kedua elemen tersebut, bertekad merestorasi posisi penting zakat di jantung Islam, di pusat Din, dengan mendirikan pasar berdampingan masjid, merestorasi keadilan ekonomi di antara Muslimin, mengembalikan transaksi dagang sahih di antara Muslimin, meneguhkan kembali hakikat poltik Islami sekali lagi. Aspirasi luar biasa ini memperoleh ekspresi politisnya di buku-buku beliau, The Return of the Gold Dinar (telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul ‘Kembalinya Dinar Emas’) dan berbagai tulisan dan perkataan beliau tentang hal itu. Tujuan dari semua itu ialah untuk merestorasi Din ke kedudukan sahihnya, untuk memberikan sebuah kepahamanan tentangnya secara relevan di masa kita hidup ini, untuk sebenar-benarnya menyatukan ibadah dan muamalah. Inilah makna dari desakan tak henti-hentinya atas restorasi rukun Zakat.
Keberadaan beliau di sini, sepanjang dua puluh tahun terakhir di Cape Town, ialah masa beliau benar-benar menjalin kembali kedua hal tersebut: pemahaman sahih atas Islam dalam konteks dunia di mana kita hidup dan hakikat batin Islam yang harus diwadahinya. Hakikat batin dari Din diekspresikan dalam empat kitab utama yang berisi daras beliau kepada fuqara di berbagai lokasi saat malam-malam zikir dilaksanakan dengan tekun sepanjang beliau menetap di sini: The Book of Tawhid, The Book of Amal, The Book of Hubb dan The Book of Safar. (Sepertinya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan) Dalam naskah-naskah ini kita dapat temukan SELURUH yang dibutuhkan di masa ini perihal hakikat batinnya Islam. Selanjutnya menempatkan Islam di dunia tempat kita hidup kini, dalam lingkungan dimana Din harus berlangsung di masa kini, dijabarkan sepenuhnya dalam empat karyanya tentang sejarah: The Time of the Bedouin, The Interim is Mine, The Engines of the Broken World, dan The Entire City. (Sepertinya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan) Dengan kumpulan karya ini seluruh perkaranya telah lengkap. Beliau melengkapi seluruh gambarannya bagi kita. Beliau dapati kapal Islam, babak belur dan cedera akibat serangan tanpa henti dan kejam kufar selama dua ratus tahun terakhir, dan beliau mengambilnya, beliau merestorasi dan memperbaikinya; memantaskannya, dan memperkuatnya di bagian yang perlu penguatan, agar kapalnya mampu menghadapi berbagai badai dan deraan gelombang samudera di masa hidup kita kini.
Apakah kalian memahami apa yang telah beliau kerjakan? Beliau, semoga Allah meridainya, menyatukan kembali Din ini bagi jaman kita hidup kini. Dan, tentu saja, asas dasar Din ini tidak berubah. Beliau menyatukan formulasi Kitab dan Sunah yang dibutuhkan bagi jaman kita hidup kini. Tidak ada perbedaan. Tidak ada yang diubah. Hanya menjadikan relevan bagi masanya. Susunan Kitab dan Sunah, dan batasan-batasan Allah tidak berubah. Semua itu ialah awal yang harus dijaga dan diteguhkan bagi siapa pun yang ingin membawa Din ini ke depan di masa ini. Nabi, salallahu ‘alayhi wa salam, bersabda, “Yang halal jelas, dan yang haram jelas.” Bersenang-senang dengan yang haram akan menghancurleburkan keseluruhannya. Kembali ke permisalan tentang kapal, orang-orang yang bersenang-senang dengan yang haram ialah mereka yang berada di batas air melubangi sisi-sisi kapal itu. Mereka akan menenggelamkan kapal dan membinasakan diri-diri mereka sendiri dan orang-orang lain yang berada di kapal itu. Di sisi lain, terus menerus melaksanakan yang halal, menjalankan Din Allah membuat seluruhnya jadi baik dan berjalan baik.
Ini diperjelas dengan dalam bagian akhir hadis yang kami sebutkan, “Di tubuh terdapat sepotong daging, jika ia baik dan sehat maka seluruh tubuh sehat, dan jika ia rusak dan busuk, seluruh tubuh busuk. Itulah jantung hati.” Hati yang baik dan sehat memiliki dua fungsi. Yang pertama ialah bahwa ia adalah sumber dan sarana amal salih yang efektif. Jika hati itu baik, jika ia bersih, maka amal salih pasti muncul darinya dan amal salih itu akan efektif, akan merubah hal-hal. Ada perkataan yang sering kali saya kutip: “Seribu kata-kata dari hati kotor tidak mampu menghasilkan satu pun. Namun satu kata dari hati yang bersih akan menghasilkan ribuan hasil.” Dan kita telah menyaksikan hal tersebut terjadi dari Shaykh kita berkali-kali dan itulah tema yang beliau jelaskan dalam The Book of Amal. Semoga Allah ta’ala memberi kita keberhasilan dalam membersihkan kalbu kita, dan menjadikan kita ahli amal salih efektif, amal yang mengubah dunia.
Fungsi lain dari hati ialah awal kita mulai. Itulah sebab kita diciptakan. Itulah wadah potensial ilmu laduni dari Allah. Terdapat perkataan tradisi yang telah dikutip Muslimin sejak lama dimana Allah ta’ala berfirman, “Seluruh semesta tidak dapat mewadahi-Ku namun hati hamba mukmin-Ku mewadahi-Ku.” Inilah seluruh urusannya. Inilah tanggungjawab kita: mengusahakan kondisi dimana kalbu yang arif kepada Allah tersebut bisa hadir. Semoga kita dijadikan ahli yang kalbunya demikian. Semoga kita menjadi sebuah majelis yang benar-benar menggunakan segala yang telah diberikan kepada kita, yang menggunakan seluruh usaha untuk menggunakan sekoci penolong yang melaut ini, yang sudah dibangun dan diberikan oleh Shaykh kita.
Semoga kita menjadi orang-orang yang tetap menjadi penumpang yang berada padanya dan yang mampu mengajak banyak orang yang tenggelam dalam banjir merusak akibat sistem ekonomi ribawi di masa ini dan ketidakmampuan khalayak mengendalikan batasan-batasan Allah ta’ala yang kian nyata dimana-mana untuk menaikinya. Kita telah diberikan sekoci penolong yang memampukan kita berlayar melintasinya tanpa cedera dan yang dapat kita gunakan untuk menyelamatkan banyak orang. Semoga Allah ta’ala memberi kita seluruh keberhasilan untuk mengerjakan hal itu.
Sumber : https://shaykhabdalqadir.com/shaykh-abdalqadir-as-sufis-journey-through-the-deen-of-islam/
Catatan :
*) wa·lah p kata seru yang menyatakan keheranan, keputusasaan, kekhawatiran; ah!;
**) pem·ba·ji·an n proses, cara, perbuatan membaji