Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang terhormat,

Pertama-tama, kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala untuk mengampuni Shaykh Abdalqadir as-Sufi. Kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala agar seluruh pembacaan Kitab Allah yang dibacakan saat khataman ini, Allah jadikan berada di Buku Catatan amal-amal salih-Nya.

Tak ada keraguan bahwa bacaan Al-Quran sampai kepada yang telah wafat. Ada sekelompok yang berpendapat bahwa balasan pembacaan Al-Quran tidak sampai kepada yang telah wafat. Di antaranya, pada awalnya ialah Imam Ahmad ibn Hanbal. Suatu hari beliau berjumpa dengan seorang tuna netra yang sedang membaca Al-Quran di sisi pesarean, dan beliau berkata pada orang tersebut, “Bangun, tidak tahukah kamu bahwa membaca Al-Quran di sisi kuburan itu bid’ah?” Lalu ada seorang pria di sana yang bertanya, “Wahai Imam, apa pendapatmu tentang Mubashir ibn Halab?” Imam Ahmad menjawab, “Beliau seorang sidik. Apakah engkau pernah mendengar sesuatu yang diriwayatkannya?” Pria itu menjawab, “Ya, beliau meriwayatkan dari ayahnya yang mendengar Abdallah ibn Umar, radiya Allahu ‘anhu, memberitahu putranya untuk membacakan di atas kuburnya akhir Surat Al-Baqarah.” Setelah mendengar itu, Imam Ahmad memanggil pria itu dan berkata, “Beritahu si tuna netra itu agar kembali dan membaca lagi Al-Quran seperti yang telah dilakukannya sebelum ini.”

Tak ada keraguan bahwa pembacaan Al-Quran sampai kepada mereka yang wafat. Kita memohon Allah subhanahu wa ta’aala untuk menambahkan pada catatan-Nya seluruh balasan pembacaan khatam Al-Quran yang kita baca ini bagi Shaykh Abdalqadir as-Sufi. Ini hadiah terbaik dan bukti cinta kita kepada beliau. Hanya saja, Shaykh Abdalqadir rahimahullah menantikan hal lain dari kita. Beliau mempercayai kita untuk mengikuti pengajarannya. Seluruh pengajaran yang beliau tinggalkan berasas dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, salla Allahu alayhi wa sallam. Apakah memadai bagi kita sekedar berbicara membahasnya atau kita mempelajarinya di majelis belajar kita dan berkata, Shaykh Abdalqadir berkata begini dan Shaykh Abdalqadir berkata begitu? Kita harus menyertai perkataan kita dengan amal, perkataan dan perilakunya. Dengan berbuat begitu kita bisa berkata bahwa kita telah menggenggam pengajaran Shaykh Abdaqadir dalam perkataan dan amalnya.

Beliau telah meninggalkan harta kekayaan untuk kita dan harta ini tertimbun di bawah sebuah dinding. Kita harus mencarinya dan mengenalinya bahwa itu bukanlah harta duniawi melainkan harta maknawi. Kita semua adalah para pewarisnya. Harta dibagikan di antara para pewarisnya, setelah sebuah surat wasiat dibuat atau ada hutang yang jatuh tempo. Beliau, rahimahullah, telah membagikan harta ini sebelum beliau wafat, telah memberikan pada semua orang bagiannya dan tidak membuat suatu pengecualian apapun. Bahkan mereka yang telah meninggalkan jamaah beliau di masa lalu telah memperoleh harta kekayaan ini. Keluarnya mereka dari komunitas ini tidak bisa kita hakimi lahiriahnya. Para fuqaha syari’ah dan mereka yang ahli perihal waris berkata, “Mereka yang tidak taat, tidak dihalangi menerima suatu warisan.” Bahkan dia yang tidak taat kepada ayahnya memiliki hak atas warisannya. Dan tidak ada yang diberikan kelebihan di atas yang lain. Tak seorangpun boleh berkata, “Saya mewarisi sesuatu dari Shaykh dan engkau tidak mewarisi suatu apapun.”

Adalah sesuatu yang nyata bahwa Sidi Ahmad al-Badawi, radiya Allahu ‘anhu, telah menulis sebuah izin mengutamakan Shaykh Muhammad al-Arabi al-Mdaghri sebelum dirinya wafat. Para fuqara beliau di zawiyya-nya di Fes berkata, Kenapa engkau tidak menulis izin untuk mengutamakan putramu, Muhammad? Beliau masyhur menjawab, dalam dialek Maroko: “Jika perkara ini berada di kewenangan tangan saya maka saya akan memberikannya kepada putra saya, Muhammad, namun karena ini berada di kewenangan tangan Rabb-ku, maka saya memberikannya kepada Muhammad al-Arabi.”

Ini sebuah isyarat bahwa dalam urusan ini tidak seperti sebuah surat waris yang ditulis untuk membagikan harta duniawi dimana seorang pewaris bisa memilih siapa yang akan diberinya. Pilihannya ialah pilihannya Allah, dan Allah berfirman, “Dan Rabb-mu menciptakan dan memilih, bagi mereka tidak ada pilihan.” (Surat Al-Qasas ayat 68).
Ketika saya pertama kali berjumpa dengan Shaykh Abdalqadir, rahimahullah, dan itu karena karunia Allah Subhanahu wa ta’aala, dan berkat usaha Hajj Orhan dan Hajj Adnan. Hajj Adnan datang ke Maroko, dan berkata bahwa Shaykh ingin berjumpa saya. Saya datang kepada Shaykh dan berjumpa beliau. Beliau berkata, “Berikan paspormu kepadaku, saya akan merobeknya.” Saya menjawab, “Tidak.” Reaksi saya tak disengaja, terjadi spontan. Keberanian melampaui adab. Shaykh Abdalqadir lalu berkata sambil tersenyum kepada yang hadir saat itu, “Ini persis seperti perilaku Sidi Muhammad al-Basri, rahimullah.”

Saya menceritakan ini karena Shaykh Abdalqadir, rahimahullah menyaksikan sesuatu yang tidak kita lihat. Beliau menegaskan itu ketika beliau meneruskan izinnya kepada saya. Sayyidina Shaykh tidak melakukan itu suka-suka karena izin dari para Shuyukh itu ada dua jenis. Izinnya bisa berupa isyarat atau dengan cara maklumat terbuka. Izin melalui maklumat terbuka lebih baik daripada izin dengan isyarat. Kami meyakini hal ini dan kami tidak memiliki suatu keraguan apapun tentangnya. Siapa pun yang berkata bahwa pemberian izin seperti ini ialah sesuatu yang tidak biasanya dilakukan Salaf as-Salih (para salihin pendahulu di tarekat), berarti telah menuduh bahwa Sayyidina Shaykh telah melakukan sebuah kesalahan. Shaykh Abdalqadir adalah salah seorang paling sidik yang pernah saya jumpai. Beliau memiliki akal tajam dalam urusan Din dan akal serta bimbingan dari Allah.

Pengajarannya Shaykh Abdalqadir, rahimahullah itu sebenerang matahari. Cinta pada kepemimpinan adalah salah satu perkara yang amat berbahaya, yang dapat bersarang di hati hingga menguasainya. Ibn ‘Ashir, rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa asal muasal seluruh bencana ialah cinta kepemimpinan dan meninggalkan apa yang akan datang, karena pada kepemimpinan terdapat suatu bagian besar dari nafsu.” Para pengikut dapat tidur dengan mudah dan tenang. Sedangkan si pemimpin (Rais) senantiasa berada dalam situasi amat berbahaya.

Jika si Murid mencium tangan sang Shaykh, beliau meremukkan nafsunya, mendidik dan mengajarinya adab mulia padanya. Ketika tangan seorang Shaykh dicium, nafsunya menggelembung, kecuali jika Allah melindunginya (dengan membimbingnya). Rais (pemimpin) itu senantiasa menjalani suatu ujian berat dan senantiasa bergelut dengan nafsunya. Saya sampaikan ini karena mereka yang mencintai rais (kepemimpinan) itu sedang berlari menuju kebinasaan. Shaykh Sidi Muhammad ibn al-Habib berbicara tentang hal ini, tentang para pemimpin khalayak. Pemimpin itu harus menjalankan dua jenis politik, politik din (deeniyya) dan politik duniawi (dunyawi). Jika ia berada di persada Islam, politik duniawinya berada di tangan Amirnya. Tidak harus baginya untuk terlibat padanya, jika Amir al-Mukminin hadir di negerinya. Dia hanya harus berbay’at padanya. Namun dia harus menjalankan politik din (deeni). Dan apakah siasat deeni (politik din) ini selain suluk (menempuh jalan tarekat). Jadi itulah bermuamalat, melaksanakan menjalankannya adalah politik. Sifat-sifat mulia akhlak adalah politik. Hilm (lemah lembut) adalah politik. Sabar adalah politik. Itulah yang harus dijalankan dan itu semua ialah pengajaran Shaykh Abdalqadir as-Sufi, rahimahullah.

Si faqir yang telah menempuh jalan tarekat hanya memerlukan seorang Shaykh. Sebagaimana yang disampaikan Shaykh Sidi Muhammad ibn al-Habib diawal Diwan beliau bahwa setiap faqir haruslah mencari seorang Shaykh yang hidup. Sang Shaykh-nya harus hidup. Beliau berkata, “Kalian harus tahu, wahai tuan-tuan yang mulia, bahwa menjabat tangan seorang Shaykh yang hidup ialah sebuah kewajiban.” Kami sedang bercakap perihal pengasuhan ruhaniah. Itu sebuah kewajiban bagi setiap murid yang mencari hadirat Allah. Beliau mengatakan hal itu di mukadimah Diwannya dan menggunakan sebagai dalil firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Surat At-Taubah ayat 119) Beliau lebih lanjut menjelaskan ayat ini dan berkata bahwa membersamai ini ialah dengan kehadiran tubuhnya, bukan dengan ruhnya.

Menjadi adat para murid di masa lalu, jika shaykh mereka wafat, mereka pergi dari rumah-rumah mereka dan bersafar untuk mencari seorang Shaykh. Hanya saja, Shaykh Abdalqadir, rahimahullah telah memendekkan perkara ini dan telah memberi kita sebuah isyarat amat jelas. Kita harus mengikuti pengajaran tersebut, menjalankannya dan melakukannya penuh kekuatan dan tidak dengan kelemahan.

Kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala untuk menjaga kita bersama.
Kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala untuk mengampuni Shaykh Abdalqadir as-Sufi.
Shaykh Sidi Muhammad ibn al-Habib, rahimahullah menyampaikan perkataan yang berat. Saya berharap agar setiap faqir memperhatikan perkataan ini. Saya berharap bahwa setiap orang yang mengklaim kepemimpinan atau kewenangan shaykh memperhatikan perkataan ini. Beliau menyebutkan di kasidah Saaltu qalbi an qurbi Rabbi, “Siapa saja yang mengklaim bahwa dirinya ialah seorang yang khas; siapapun yang berkata karena pilihannya sendiri, bahwa: Saya seorang Shaykh, seorang Muqaddim atau seorang Rais atau apapun yang diklaimnya, tanpa izin. Dan izin itu haruslah izin yang jelas, maka dia yang mengklaim tanpa izin, akan memperoleh sesuatu yang membawanya kepada kebinasaan (dirinya akan terhalang).”
Beliau juga berkata di awal Risalahnya, di mukadimah Diwan beliau, “Siapa saja yang mengklaim sesuatu yang dirinya tidak demikian atau yang tidak dimilikinya, maka bukti ujiannya akan memastikan kekeliruannya, menunjukkan dia seorang pendusta sebab jika ujian terjadi maka seseorang boleh jadi dimuliakan atau direndahkan dan dihinakan.”

Kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala agar menjauhkan kita dari ujian yang seperti itu. Dan menjadikan kita termasuk golongan mereka yang berilmu dan mengamalkannya. Dan kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala agar para fuqara dimanapun mereka berada, dijaga dan dipersatukan Allah.
Shaykh kita meninggalkan bagi kita tarekat ini dalam tertibnya; kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala untuk memberinya balasan atasnya. Kepada mereka yang telah ditunjuk Shaykh Abdalqadir sebagai Shuyukh, kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala untuk melindungi mereka. Kita juga memohon Allah untuk memberkahi para Muqaddim dan agar Allah mengumpulkan dan menyatukan para fuqara karena mereka, karena kita ini sebuah kumpulan sufi dan bukan sebuah kumpulan proyek. Kita berada di sebuah kerajaan ruhaniah dan bukan kerajaan berbagai barang.

Saya akan akhiri dengan sebuah ayat mulia, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu.” (Surat Al Maidah ayat 105)

Semoga Allah memberkahi seluruh fuqara. Semoga Allah merahmati para Shuyukh kita, Shaykh Abdalqadir dan Shaykh Muhammad ibn al-Habib dan Shaykh al-Fayturi. Kita memohon Allah Subhanahu wa ta’aala memberkahi seluruh fuqara yang kami lihat di sini dan Muqaddam dan Imam Abdalmalik serta mereka semuanya. Dan agar Allah menyatukan kita pada apa yang dicintai-Nya dan diridai-Nya. Dan bahwa Shaykh Abdalqadir ialah warisan kita dan kita semua ialah pewarisnya. Kita dapat melaksanakan Mawsim Shaykh Abdalqadir dimanapun, di Afrika, Eropa, Australia, Amerika, Asia dan dimanapun. Kalbu kita tersambung pada ruh Shaykh Abdalqadir sebagaimana kalbu kita tersambung pada Sidi Muhammad ibn al-Arabi, Sidi Moulay Abdalqadir al-Jilani dan seluruh Shuyukh mulia, dimanapun mereka berada. Semoga Allah memberi kita keberhasilan dalam apa yang dicintai-Nya dan diridai-Nya. TEGUHLAH, TEGUHLAH, TEGUHLAH.


Sumber : https://shaykhmortada.com/index.php/2021/10/27/discourse-after-the-khatam-al-quran-recitation-for-shaykh-abdalqadir-as-sufi-ra-2/

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Muqaddim Malik Abdalhaqq Hermanadi