Di masanya Shaykh Muhammad Ibn al Habib, semoga Allah rida padanya, para fuqara terbiasa melantunkan seluruh Qasidah dari Diwan saat Berzikir. Mereka mulai dari Qasidah pertama terus berlanjut hingga akhir Diwan. Mereka itu fuqara yang kuat, bahkan mereka pun membaca juga Hafidha-nya. Di zamannya Shaykh Abdalqadir As-Sufi, semoga Allah merahmatinya, beliau memperhatikan perihal para ahli tarekat dan zaman dimana mereka hidup. Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, menasehati, “Berjalanlah sesuai kecepatan mereka yang paling lemah di antara kalian.” Setiap zaman memiliki khalayaknya sendiri dan setiap zaman memiliki sifat/kondisinya sendiri. Shaykh Ibn Ata’illah, semoga Allah merahmatinya, berkata dalam Hikam-nya, “Dia yang berusaha mewujudkan apa yang tidak hendak diwujudkan Allah, sungguh berada dalam kejahilan.” Maksudnya dia itu ialah seseorang yang berusaha menjadikan sesuatu itu hadir padahal Allah tidak menakdirkan perwujudannya di masanya. Karena itu kita harus melangkah sesuai laju waktu zaman kita hidup. Para Tabi’in tidak seperti para Sahabat, dan Tabi’i-Tabi’in tidak sama seperti para Tabi’in, dan juga tidak serupa para Sahabat. Nabi, sallallahu
‘alayhi wassalam, bersabda, “Yang pertama itu milikku.” Generasi pertama itu milikku dan yang generasi selanjutnya memiliki derajat Iman yang berbeda. Nabi bersabda, “Jika kalian menimbang Iman Abu Bakar di satu sisi timbangan, dan Iman Umat seluruhnya di sisi yang lain, maka Imannya Abu Bakar akan lebih berat.” Yang dimaksud di sini ialah kita harus merasakan kelemahan. Ketika kita membaca kisah hidup mereka dan belajar tentang kemuliaan mereka yang telah mendahului kita dalam Iman, kita merasakan kekuatan mereka dan pada saat yang sama kita merasakan kelemahan kita, hanya saja rasa kelemahan ini itu sendiri ialah satu karunia dari Allah. Allah menghendaki kita memiliki perasaan itu karena insan diciptakan dari jiwa dan raga, bagian-bagian raga itu lemah dan terbuat dari tanah dan bumi serta berbagai unsurnya itu semuanya lemah. Hanya saja, pada bagian lemah ini Allah menempatkan sesuatu yang kuat, yaitu jiwa. Ruh itu berasal dari yang Maha Kuat, Allah. Ketika Ruh diberi makan dan dipelihara dengan zikir pada Allah lalu ia berkata kepada raga, ayo bergerak!

Lalu jasad ini berusaha bergerak tetapi ia merasa lemah; maka hasilnya ialah kondisi lemah yang diinginkan, sehingga di saat itu kita memohon pada Allah. Jika saya merasa kuat dengan berbagai unsur yang ada, saya tidak akan merasa perlu kepada Allah dan saya tidak akan memohon kepada Allah karena saya kuat, namun kelemahan inilah yang membuat saya berkata, “Ya Rabbi! Saya lemah! Ya Allah ampuni saya! Ya Allah! Imanku lebih lemah dari mereka yang mendahului diriku.” Dan inilah yang disebut ibadah itu, inilah Doa itu! Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, bersabda, “Doa itu inti ibadah.” Dan diriwayat yang lain, “Doa itu ibadah.” Saya takjub pada khalayak dan kumpulan orang yang salat dan saum, membayar Zakat, pergi Haji, melaksanakan semua salatnya namun tidak mau mengangkat tangannya kepada Allah. Dengan kesombongan atau keyakinan bahwa dia telah melaksanakan apa yang diperintahkan padanya, dia berkata, ‘Allah memerintahkanku untuk salat dan aku salat, Dia memerintahkanku membayar Zakat dan aku membayar Zakat, lalu Dia memerintahkanku pergi Haji, lalu aku pergi Haji. Aku tidak meminta apapun, tidak perlu berdo’a ataupun mohon ampunan, sebab aku sudah salat sesuai seharusnya. Saya tidak menzalimi seseorang pun dan saya tidak melakukan maksiat apapun, jadi aku tidak perlu berdo’a.’ Allah berfirman, “Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” (Surat 4 ayat 173) Kita menyaksikan ada orang-orang yang mengangkat tangannya dan ada mereka yang tidak mengangkat tangan, mengatakan bahwa mengangkat tangan ini sebentuk bid’ah dan mengada-ada. Para pendahulu kita, sesuai kekuatan dan wujud Iman mereka, senantiasa merasa lemah dan tidak pantas walau apapun amal yang telah mereka laksanakan, mereka berkata, ‘Kami berdosa, kami ahli maksiat.’ Abu Bakr As-Siddiq, semoga Allah rida padanya, melihat dirinya sendiri sebagai salah seorang yang berdosa besar dan Umar, semoga Allah meridainya, biasa berkata, ‘Celakalah Umar, jika Allah tidak mengampuninya.’ Itulah mereka yang telah dijanjikan pasti masuk Taman Surga.

Maka Allah menghendaki kita merasakan kelemahan itu, yang dengannya kita mengenal Allah, dan mengetahui bahwa kita lemah Iman, ampuni kami Ya Allah. Jika rahmat hanya diberikan kepada yang kuat, maka apa yang tersisa bagi yang lemah Rahmat itu bagi yang berdosa dan lemah dan kita harus merasakan kelemahan itu. Para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam Iman haruslah menjadi teladan kita. Walaupun kita lemah, kita berusaha sungguh-sungguh untuk meniru mereka, maka kita melantunkan Qasidah tersebut. Jika mereka melakukannya setiap hari, kita melaksanakannya sekali sebulan. Jika mereka biasa membaca Hafidha setiap pagi dan sore, setidaknya kita bisa membacanya sekali seumur hidup. Di tengah-tengah Qasidah, di bagian tengah Tahiya, Shaykh Muhammad ibn al-Habib membahas perihal bagian dari nafsu. Beliau mengatakan pada Fuqara untuk berkata pada diri-diri mereka sendiri. Kapan kalian berbicara dengan diri diri kalian sendiri? Saat engkau sendiri, ketika tidak ada orang lain, engkau berbicara pada dirimu sendiri. Jika seseorang berbicara pada dirinya sendiri sedang dia bersama orang-orang lain, mereka akan berkata bahwa dia gila, saat dia berjalan-jalan di jalanan sambil berbicara sendiri. Dia yang tidak gila ialah dia yang berbicara pada dirinya sendiri ketika dia sendirian. Nafsu itu menyukai segala yang haram karena nafsu itu cenderung pada yang haram. Jika engkau memberi dirimu sendiri 99 sesuatu yang halal, lalu engkau berkata bahwa ini satu yang haram, maka dia akan meninggalkan yang 99 dan pergi menuju satu yang haram itu. Nafsu insan itu fitrahnya demikian. Sayyiduna Adam memiliki berbagai pepohonan luar biasa di Taman Surga dan Allah menetapkan hanya satu pohon yang haram dan nafsunya cenderung pada yang satu itu. Jadi, dia haruslah berbicara kepada dirinya sendiri dan dia harus berkata kepada nafsunya, ‘Jangan ikuti aku! Aku mau berjalan menuju Allah. Aku mau pergi ke Allah, jangan temani diriku, dan jangan ikuti aku dan menghalangi safarku kepada Rabbal Alamin.’ Maka dia telah berkata kepada musuh terburukmu. Dia itu bukanlah diri yang menyingkirkan mimpimu atau dia yang berusaha merencanakan menentangmu dalam pekerjaanmu – mau merebut kedudukanmu dalam bisnismu. Musuh paling mematikan itu ialah nafsumu sendiri. Musuh terbesarmu di kehidupan ialah nafsumu yang menghalangimu dari mengenali Yang Hak dan mewujudkan hakikat. Selanjutnya Shaykh Muhammad ibn al-Habib berkata, “Mereka yang mematuhi panggilan sang Kekasih itulah yang menang,” mereka telah memenuhi seruan Allah, menjadi pemenang dengan mendapatkan Firdaus.

Apa yang terjadi kepada mereka yang fasik yang mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya Allah menyeru mereka. Mengapa? Karena dia telah berpaling dari Allah. Maka Allah menyerunya dan berfirman, ‘Datanglah pada-Ku! Apakah engkau memiliki Ilah selain diri-Ku atau pemberi rejeki selain-Ku?’ Betapa berbahagianya mereka yang memenuhi panggilan Kekasih mereka! “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (Surat 8 ayat 24).

Dia harus menyendiri bersama nafsunya. Dia harus mengenali kelemahannya di hadapan Allah. Apa yang dikehendaki untuk dilihat Allah ialah kerendahan dirinya terhadap Allah. Tidak satupun amal salihmu menguntungkan Allah; begitu pula kesidikan atau segala ibadahmu. Tidak ada sesuatupun yang membawa manfaat bagi Allah. Apa yang Allah cintai dan para Malaikat mukarabin-Nya, ialah jika si hamba menghadap-Nya dengan kerendahan hati. Lalu Allah berfirman pada Malaikat-Nya, ‘Lihat, bukankah Aku telah mengatakan bahwa Aku Tahu apa yang tidak kalian ketahui? Lihat dia yang menangis sendirian itu. Lihat dia yang bertobat pada-Ku sepenuh kerendahan hati karena menyadari tidak ada yang mengampuni dosa-dosanya kecuali Aku.’ Lalu Allah membanggakan hamba itu pada para malaikat-Nya dan Allah bergembira dengan kegembiraan yang sepantasnya bagi-Nya. Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, bersabda, “Ketika seseorang bermaksiat, lalu bertobat, Allah gembira baginya, dan Allah demikian gembiranya melebihi kegembiraanmu ketika kamu kehilangan unta dan menemukan kembali untamu.” Lalu Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, bercerita. Ada seorang pria menunggangi untanya di padang pasir, dan dia ingin istirahat, lalu dia tidur dinaungi untanya, dan untanya itu dipenuhi berbagai barang penting seperti makanan dan minuman dan lain-lain. Saat terbangun, orang itu tidak melihat untanya, dia mencari ke kiri dan ke kanan, dia tidak bisa menemukan untanya di manapun. Pada saat itu orang tersebut merasa dia pasti mati, maka dia lalu menghadap dan memohon dengan sepenuh kerendahan hati pada Allah, lalu dia tidur sekejap. Ketika ia terbangun, dia jumpai untanya berada di sisinya dan ia menjadi begitu gembiranya. Dia begitu gembira dan ingin mengucapkan, ‘Ya Allah! Engkau-lah Rabb-ku dan aku hamba-Mu’ malahan saking gembiranya dia berkata, ‘Ya Allah! Engkau-lah hambaku dan akulah Rabb-Mu,’ dan Allah tersenyum padanya. Orang itu sedemikian gembiranya sehingga perkataannya terbalik. Karena itulah Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam, bersabda, “Allah lebih gembira kepadamu ketika engkau bertobat dengan rendah hati, daripada dia yang menemukan kembali tunggangannya yang hilang.” Ada yang harus dijelaskan; ketika kita mengatakan kegembiraan Allah, maka hal ini tanpa suatu penyerupaan apapun pada makhluk-Nya, apapun yang mampu kita khayalkan di pikiran kita, Allah tidak serupa dengannya. Kita meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan hanya Allah yang Maha Tahu tentangnya.