‘Tak ada jalan menuju hakikat, kecuali melalui syari’at,’
Shaykh al-Akbar*.”
Syari’at Islam adalah pengakuan bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Melaksanakan shalat lima waktu sehari. Melaksanakan shaum di bulan Ramadan. Membayar zakat. Melaksanakan Haji, jika mampu, ke Rumah Allah dan padang ‘Arafah. Seluruhnya didasarkan pada kelimanya (Rukun Islam, Pen.) dan menegaskan bahwa seseorang yang mengikuti syari’at telah memilih untuk hidup dalam batasan-batasan luas yang telah diturunkan dalam perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an dan sesuai dengan bimbingan teladan Sunnah, cara hidup Muhammad, shalallahu ‘alaihi wassalam. Penerimaan atas syari’at adalah suatu bentuk kesadaran mendalam bahwa makhluk manusia terbatas, berada dalam satu jasad, sehingga layaknya semua jasad di alam fisik, tunduk pada hukum-hukum yang berlaku. Tak ada paksaan dalam transaksi kehidupan (din), sehingga tak mungkin disebut sebagai “agama yang diorganisasi” – tak mungkin – karena hal ini sebenarnya adalah pola hidup yang dipilih secara pribadi dijalankan untuk memperoleh kedalamaman ilmu hingga seseorang tiba pada asal-muasalnya sendiri, mata air kehidupan dirinya, untuk meminum air berbinar-binar. Syari’at menuntut pengakuan atas hukum-hukum biologis yang bekerja di setiap tingkat kehidupan.
Karenanya kita lihat bahwa kafirun – mereka yang menolak – sesungguhnya menjalani syari’atnya sendiri. Setiap individu menempuh suatu syari’at, walau seadanya namun berfungsi. Syari’at kita seluruhnya adalah rahmat, sedangkan syari’at mereka pada kenyataanya kejam, menindas dan sempit. Syari’at kita berasal dari Insan Kamil, kekasih jutaan manusia. Syari’at mereka adalah bayangan gelap dari khayalan-khayalannya sendiri.
Catatan:
*)Shaykh Al-Akbar, adalah gelar yang menurut riwayat diberikan oleh Shaykh Abu Madyan kepada Shaykh Muhyiddin ibn-Arabi. Lahir di Murcia, Spanyol dan wafat di Damaskus, Suriah pada 638 H. Beliau bersafar, menuntut ilmu dan mengajar di berbagai persada Islam pada masanya. Menulis ratusan kitab tasawuf, karyanya kerap disalahpahami, meski beliau telah mewanti-wanti pembaca kitabnya bahwa para Sufi memiliki dan memakai istilah-istilah yang diberikan arti berbeda dengan makna yang pada umumnya digunakan para ulama. Sedang dalam fikih, disebutkan bahwa beliau memiliki derajad mujtahid (ahli ijtihad) yang shahih.