Rida, berarti kepuasan menentramkan. Inilah kondisi sangat penting seseorang yang telah menyeimbangkan ketakutan dan harapannya. Seseorang yang telah mencapai rida ialah dia yang telah berhasil menembus pertarungan antara hal-hal berlawanan di alam indrawi. Orang awam tertawa ketika gembira dan menangis ketika sedih. Mereka menyeru Allah jika memperoleh kesulitan dan melupakan-Nya ketika semua baik-baik saja. Atau, mereka menaati-Nya ketika keadaannya mudah dan di awal tanda-tanda kesukaran, mereka pontang-panting kesana kemari mencoba mengendalikan berbagai perkaranya.

Berhati-hati, jangan sampai engkau mengira bahwa si ahli rida sebagai orang yang pasif dan lelet. Ini tuduhannya mereka yang kafir dan orang-orang jahil. Rida membebaskan seseorang untuk bertindak saat tindakannya akan berpengaruh. Rida akan membimbing seorang manusia untuk berbicara, ketika ucapannya akan diperhatikan dan dilaksanakan. Demikian pula, itu akan membimbingnya untuk bungkam atau diam jika tidak ada manfaat membahasnya. Seseorang yang rida kepada Allah tidak akan ambil pusing pada opini-opini orang lain, baik berupa persetujuan atau tidaknya mereka. Betapa hebatnya langkah ini bagi pembebasan diri.

Shaykh Ibn Ajiba menjelaskan tiga tingkatan rida, yaitu:

  1. Bagi yang awam, maknanya adalah bersabar dan pergumulan batin.
  2. Bagi yang khusus, maknanya adalah berakhirnya pikiran-pikiran pahit dan bergolak.
  3. Bagi yang khususnya khusus, maknanya adalah suka cita, sirnanya agitasi dan ketentraman.