Makna adalah arti. Sidi Ali al-Jamal berkata:
“Setiap ciptaan, baik dan buruk, menyaksikan Allah. Namun, mereka tidak mengenali-Nya, dan mereka tidak melihat al Haqq sebagai al Haqq dan mengenali-Nya, kecuali dia yang dalam kalbunya memiliki cahaya makna-makna. Cahaya maknawi yang dengannya Allah dilihat dan dikenali, hanya muncul dalam kalbu dengan memuliakan indra-indra dengan niat mencari Allah. Begitu pula, kegelapan makna-makna hanya muncul dengan bercahayanya indra-indra, karena hikmah tidak berada pada penyaksian. Ia berada dalam makrifat, karena Allah mengejewantah bagi setiap orang, tersembunyi bagi semua orang.
Sang arifin adalah dia yang mengenali-Nya secara lahiriah sebagaimana ia mengenali-Nya secara batiniah. Dan mengenali-Nya secara batiniah sebagaimana ia mengenali-Nya secara lahiriah. Sedangkan dia yang mengenali-Nya secara lahiriah dan tidak secara batiniah, atau mengenali-Nya secara batiniah dan tidak secara lahiriah, dia-lah yang jahil. Si jahil tidak disebut sebagai si arif. Shaykh ash-Shushtari, semoga Allah merahmatinya, berkata:
Jangan lihat kepada kapal-kapalnya.
Menyelamlah kedalam lautan makna-makna.
Mungkin engkau akan melihat-Ku .
Dalam majelis para sufi.
Makna-makna menjadi syarat menyaksikan, dan pemuliaan indra-indra menjadi syarat dalam pengejawantahan makna. Mengarahkan kesadaran untuk mencari Allah adalah syarat dalam menggelapnya indra. Allah pemberi sukses!”
Sekarang harus menjadi jelas bahwa si faqir sudah menempuh menuju satu proses ilmu yang dengannya ia bisa menyadari tekstur sejati keberadaan kosmis/diri. Di tahap ini ia haruslah melengkapi dirinya dengan serangkaian doktrin yang akan memperjelas baginya berbagai zona penggunaan akal dan makrifat mereka, ketika itu membentangkan baginya melalui peningkatan prakteknya dalam mengarahkan kesadaran untuk mencari Allah.