Sidi Ahmad Karir az-Zayati, berhati-hatilah dalam belajar fikih! Ingatkan ulama mulia, Sidi Ahmad ibn Ajiba al-Manjari, sang syarif, semoga Allah merahmatinya dan rida padanya! Shaykh Abu Hafs Sidi Umar ibn al-Farid, semoga Allah rida padanya, berkata dalam syair ta’,:

Jangan berada bersama mereka yang belajar tanpa arah
karena itu merendahkan akal dan membingungkannya.
Ada ilmu yang melampaui pengajaran tertulis yang lebih lembut
dari kemampuan daya tangkap tertinggi akal yang sehat.
Saya belajar ilmu itu dari diriku dan saya ambil dari diriku.
Diriku beruntung memperolehi hadiahku.

Shaykh al-Majdhub, semoga Allah rida padanya, berkata:

Jika itu adalah ilmu dari halaman-halaman, maka manisnya lidah terbatas.
Jika itu ialah ilmu rasa-rasa, engkau lihat dia mabuk di taman-taman.

Shaykh ash-Shadhili, semoga Allah rida padanya, berkata, “Siapa pun yang hembusan napas terakhirnya tidak berada di ilmu kami, wafatnya gentur dalam amal-amal amat buruk sembari tidak menyadarinya.” Shaykh Ibrahim ibn Adham, semoga Allah rida padanya, berkata, “Demi Allah, jika saya tahu ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu ini di muka bumi, saya pasti sudah berjalan menujunya.” Shaykh al-Mursi, semoga Allah rida padanya, berkata, “Jika engkau berjumpa seseorang yang telah dikaruniai ilmu dimana harta kekayaan pemahaman dibukakan baginya, maka jangan cekcok dengannya perihal naskah-naskah tertulis. Jangan berbantah dengannya karena nafsu cemburu sebab hadiah-hadiah itu lebih tinggi dari hasil belajar.”

Dikatakan di awal perjalanan Shaykh Abu’l-Hasan Ali ibn Maymun, semoga Allah rida padanya, “Buang kitab-kitabmu dan kubur dirimu sendiri dalam tanah. Maka mata air akan muncul bagimu. Jika tidak, maka tinggalkan diriku.” Sang shaykh, junjungan kami Abu’l-Hasan Ali al-Jamal, semoga Allah rida padanya, berkata, “Kitab-kitab itu dihasilkan dari hati-hati. Hati-hati-lah yang menyokong kitab-kitab dari awal mulainya dunia ini hingga akhirnya karena hati-hati itulah akarnya.”

Shaykh ash-Shadhili, semoga Allah rida padanya, berkata saat beliau berjumpa dengan shaykhnya, Sang Qutb, Moulay Abdu’s-Salam ibn Mashish, semoga Allah rida padanya, “Allah! Saya telah membersihkan diriku (wudu) dari ilmuku dan amalku sehingga saya tidak tahu ilmu dan amal apapun kecuali yang saya peroleh dari tangan shaykh-ku ini,” yaitu Ibn Mashish. Lalu beliau membersihkan dirinya di mata air masyhur al-Hasan. Yang terletak dekat sarean shaykh tersebut di kaki gunung di arah kiblatnya, semoga Allah memuliakannya! Itu menjadi satu sunah bagi siapa pun yang mengikuti setelah beliau karena itu satu-satunya jalan memperoleh ilmu hakikat. Karena itulah, kami telah menyebutkan di sini apa yang saya ketahui dari perkataan para shaykh tarekat, semoga Allah meridai mereka! tentangnya. Shaykh Moulay Abdu’l-Qadir al-Jilani, semoga Allah rida padanya, menulis pada diwan beliau ‘Ayn:

Jika apa yang ditakdirkan menolongmu atau nasib membawamu
kepada seorang shaykh hidup yang amat ahli perihal hakikat,
Maka curahkan perhatian dirimu pada ridanya dan ikuti apa yang diingininya.
Tinggalkan segala yang engkau lakukan sebelumnya.
Bersamanya, engkau harus seperti jenazah di tangan pemandinya.
Sang pemandi membalik-balikkan dirinya sesukanya dan dia sepenuhnya menurut.
Jangan menentang pada apa yang kalian jahil atasnya.
Penentangan itu kesukaran.
Berserahlah padanya dalam segala yang engkau saksikan.
Jika itu bertentangan dengan Syari’at Muhammad, maka ada tipu daya.
Memadai engkau temukan pada kisah al-Khidr
perihal membunuh anak laki-laki yang ditolak Musa.

Diwannya berlanjut hingga beliau berkata,

Begitulah ilmu Ahli Tarekat. Banyak keajaiban padanya.

Sidi Ahmad, berhati-hatilah agar tidak keliru memahamiku bahwa aku berkata padamu bahwa engkau harus mengabaikan fikih demi cinta pada tasawuf. Tidak, demi Allah! Sekali lagi, tidak begitu, demi Allah, tidak begitu! Saya sampaikan ini karena saya menyadari bahwa satu-satunya jalan kepada hakikat ialah melalui Syari’at. Satu-satunya jalan menuju kemerdekaan ialah melalui pintu penghambaan.

Apa yang telah menggerakkan saya untuk mengutip perkataan para shaykh tarekat, semoga Allah meridai mereka, tentang makna ini? Alasannya hanya karena saya melihat bahwa sebagian besar fukaha ilmu lahiriah tidak terlalu berpikiran buruk terhadap khalayak yang keliru sebagaimana mereka berpikir buruk tentang ahli tarekat, yaitu khalayak ilmu batiniah, semoga Allah meridai mereka. Mereka tidak bersegera menolak para durhaka itu sebagaimana mereka menolak ahli tarekat. Mereka mengaku bahwa mereka sudah bertindak benar dalam kesibukannya dengan ilmu lahiriah, dan bahwa mereka, semoga Allah berlemah-lembut pada mereka, itu menyibukkan diri dengan ilmu yang diperlukan untuk beribadah kepada Rabb kita. Seakan-akan Allah Ta’ala tidak memberikan amar kepada mereka untuk menentang hawa nafsunya. Ini suatu kejahilan besar pada diri mereka dan kesalahan yang masyhur. Kami berlindung kepada Allah!

Kami berpendapat bahwa mereka harus segera kembali bertobat dari apa yang mereka lakukan. Jika tidak, mereka akan menghancurkan diri mereka sendiri dan menghancurkan khalayak awam jahil yang mengikuti mereka karena mereka telah menutup pintu tobat di hadapan mereka dan para pengikut mereka. Pintu tobat itu senantiasa terbuka hingga mentari terbit di Barat sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…pada hari datangnya ayat dari Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu.” (Surat 6 ayat 158) Yang dimaksud ialah terbitnya mentari dari Barat, dan Allah Maha Tahu. Betapa menakjubkan! Betapa seringnya mereka bersikap kasar kepada khalayak, dan betapa seringnya mereka menjadikan urusan-urusan itu sedemikian sukarnya, dan betapa seringnya mereka menyempitkan jalan-jalan khalayak dan memaparkan khalayak pada bahaya! Walaupun demikian, khalayak ihsan senantiasa bertobat, senantiasa bersafar, dan senantiasa sampai. Pintu kedermawanan itulah pintunya. Betapa banyak yang tidak mengenali kesalahan dari perilaku sahih! Betapa menakjubkan! Dia yang telah sampai tidaklah kasar dan tidak pula menyempitkan ketika ia dekat. Dia yang terputus itulah yang kasar dan menyempitkan karena ia jauh.

Junjungan kami, semoga Allah rida padanya, senantiasa berkata kepada kami, “Kita ini hanya memiliki karunia Allah dan karunia para junjungan kita, para ulama lahiriah, yang memberi kita khazanah penanda-penanda jalan Nabi sallallahu ‘alayhi wassalam. Sehingga, ketika salah seorang dari kita tenggelam dalam samudera hakikat, ia melihat penanda-penanda jalan Nabi sallallahu ‘alayhi wassalam, yang berada di tangannya junjungan kita, ulama lahiriah, semoga Allah meridai mereka. Lalu ia kembali kepada penanda tersebut dan selamat dari tenggelam. Perkataan mereka yang kamil di antara ulama senantiasa diulang-ulang kepada kita. Mereka inilah yang menyatukan ilmu Syari’at dan ilmu Hakikat, semoga Allah meridai mereka:

Siapa yang bersyari’at tanpa hakikat telah menyimpang.
Siapa yang berhakikat tanpa syari’at itu zindik.
Siapa yang menyatukan keduanya memiliki kenyataan.

Beliau juga mengulang perkataan mereka pada kami: “Sebagian terhijab oleh syari’at dari hakikat. Sebagian terhijab oleh hakikat dari syari’at. Sebagian menjadikan syari’at itu pintu dan hakikat itu pintu. “…Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itu adalah golongan yang beruntung!” (Surat 58 ayat 22).

Sidi Ahmad, di antara para shaykh tarekat, semoga Allah meridai mereka, kami memperoleh junjungan kami, Abu’l-Hasan Ali al-Jamal, semoga Allah rida padanya. Beliau berjumpa seorang mulia yang telah berusia lanjut dan berwajah tampan, hal-nya teguh, aspirasinya tinggi, dan berakhlak mulia. Dia berasal dari Timur, dan namanya Abdullah. Beliau berjumpa dengannya di kota Tetouan. Beliau sedang bersama beberapa orang di sebuah rumah yang ia tidak tinggalkan atau masuki. Tak seorangpun yang mengenal pria itu. Sang wali Allah, semoga Allah meridainya, berkata, “Saya tidak pernah melihat sifat mulia yang lebih besar dari pada dia yang telah muliakan, semoga Allah meridainya! karena ia telah diberikan sifat dari Asma Allah, al-Karim – Yang Maha Mulia. Beliau berkata kepada saya, “Penyebab yang mengawali pertemuan kami dengannya ialah barakah dari berziarah pada Moulay Abdu’s-Salam ibn Mashish, semoga Allah memberi kita manfaat dari berkahnya.” Saya dengar beliau berkata bahwa dia itulah sahabatnya selama dua tahun di Tetouan.

Beliau juga berjumpa dengan Shaykh Sidi al-Arabi ibn Abdullah al-Fasi, semoga Allah rida padanya, di daerah Makhfiyyat. Sang Shaykh lebih dulu mengenali beliau sebelum junjungan saya mengenali sang Shaykh, dan tidaklah sahih bagi beliau memperoleh sesuatu dari Sang Shaykh, karena beliau memiliki sifat Asma Allah Ta’ala, al-Mani’ – Yang Maha Menahan. Karena sebab itulah, junjungan saya mencari apa yang dibutuhkannya hingga akhirnya ditemukan bersama sang syarif itu, dan Allah memberinya pembukaan melaluinya. Ketika sang syarif wafat, junjungan saya kembali ke Fes, setelah memperoleh pembukaan seperti yang kami sampaikan. Lalu beliau berkumpul dengan Sidi al-Arabi ibn Abdullah selama enam belas tahun. Berbagai sir yang beliau saksikan darinya terlalu banyak untuk dihitung. Saya tidak pernah mendengar beliau menyebut tentang Shaykhnya itu tanpa beliau menangisinya. Allah penjamin perkataan kami. Shaykhnya itu, semoga Allah rida padanya, demikian lanjut usianya dan tidak berbeda di antara kumpulan sahabatnya. Tidak seorangpun yang mengenalinya atau beliau itu diberikan keutamaan sebab beliau memiliki kecenderungan kepada keruntuhan. Khalayak itu enggan pada kondisi keruntuhan dan berlari menjauh darinya. Beliau itu sangat pendiam.

Junjungan kami juga berjumpa dengan ayah Shaykhnya, Abu’l-Abbas Sidi Ahmad ibn Abdullah yang amat masyhur di kalangan khalayak Afrika Utara. Beliau juga selanjutnya bertemu dengan Shaykh Sidi Qasim al-Khassassi, semoga Allah rida padanya. Saya mendengar beliau menasihati salah seorang saudara ahli Allah: “Jangan sibuk sama sekali dengan dia yang menyakitimu. Sibuklah dengan Allah dan Dia akan menjauhkannya darimu. Dia-lah yang Ahad yang menggerakkannya menyakitimu untuk menguji pengakuan ikhlasmu. Banyak orang telah keliru dalam hal ini. Mereka sibuk dengan dia yang menyakiti mereka, maka gangguannya akan terus berlangsung bersama amal buruk. Jika mereka kembali ke Allah, Dia pasti mengusir mereka darinya, dan ikhtiar biasa sudah akan memadai bagi mereka.” Ketika beliau wafat, beliau menunjuk Shaykh Abu’l-Abbas Sidi Ahmad al-Yamani sebagai Qutb dari majelis tersebut. Beliau itu seorang syarif Qadiri, dan Allah Maha Tahu. Beliau mengambilnya darinya, dan putranya ialah Shaykh Sidi al-Arabi yang merupakan shaykhnya junjungan kami. Beliau masih muda saat itu. Kami telah menyebutkan sanad mereka di atas, semoga Allah memberi kita manfaat melalui mereka!

Sidi Ahmad Akarir, semoga Allah rida padamu, engkau berkata kepadaku bahwa sang alim dengan ilmu rabbani, sang syarif Abu’l-Abbas Sidi Ahmad ibn Ajiba, semoga Allah rida padanya, telah berjumpa sekumpulan ahli ilmu batin di kota Fes. Saya berpendapat bahwa pernyataanmu, semoga Allah rida padamu, itu tidak demikian dan sangat aneh. Ini karena saya berada di sana, dan tidak ada apapun seperti yang engkau katakan kecuali perihal junjungan kami, semoga Allah rida padanya. Tidak ada keraguan bahwa urusan ini sungguh tidak biasa, sebagaimana disebutkan oleh junjungan kami dan sebagaimana dikatakan, Shaykh Abu Madyan, semoga Allah rida padanya:

Kapan aku berjumpa mereka dan bagaimana aku akan melihat mereka?
Kapan telingaku mendengar kabar mereka?

Tidak ada keraguan bahwa kondisi terbanyak para wali, semoga Allah meridai mereka, ialah kerendahan. Khalayak hanya melihat pada kondisi ketinggian, jadi bagaimana mereka bisa mengenalinya? Betapa jauhnya mereka dari para wali itu kecuali jika Allah membimbing tangan mereka!

Shaykh mulia dan wali Allah Ta’ala, Ibn Ata’allah, semoga Allah rida padanya, berkata di kitab Hikam, “Maha Suci Allah yang memberikan bukti atas para wali-Nya hanya karena itulah bukti-Nya. Dia hanya membawa seseorang kepada mereka ketika Dia ingin membawanya kepada-Nya.” Jika dikatakan pada saya, “Bagaimana bisa engkau mengenali mereka dan mengambil dari mereka?” Saya akan menjawab, “Saya memperhatikan kondisi kerendahan, dan tidak mencari-cari di kondisi ketinggian maka saya menemukan apa yang saya butuhkan di sana. Alhamdulillah wa shukrulillah!

Kebanyakan orang hanya mencari pada dunia ini saja dan pada siapa yang memilikinya. Mereka tidak melihat pada kemiskinan dan sesiapa yang miskin. Jika beberapa di antara mereka melihat seorang wali fakir yang tidak memiliki apapun dari dunia ini, mereka berlari menjauh darinya. Mereka berkata, “Jika dia itu seorang wali, dia pasti kaya dan tidak mungkin miskin.” Dia tidak berlaku baik di dalam kepalanya sendiri, bagaimana dia bisa berlaku baik dengan orang lain? Dia tidak tahu bahwa sang wali ialah dia yang fakir, miskin di dunia ini, kaya bersama Allah, rida pada-Nya.

Mengenai kumpulan doa yang engkau sampaikan padaku, saya sudah terbiasa dengannya sejak saya masih muda, namun ketidakmampuan dan kemalasan menguasai saya ketika itu. Mohonkan pada Allah kesuksesan bagiku, dan semoga Allah cukup bagimu! Tindakan-tindakan junjungan kita, semoga Allah rida padanya, itu mengingatkan kita. Hanya sedikit orang yang memilikinya, walau amal-amal didasarkan padanya. Itulah perwujudan sifat-sifat sebagaimana dikatakan Shaykh Ibn Ataallah di kitab Hikam: “Bergantunglah pada sifat-sifat Rabani-Nya, dan wujudkan sifat-sifat hambamu.”

Ahli Tarekat, semoga Allah meridai mereka, berkata, “Jika engkau kuburkan dirimu sendiri di dalam tanah, kalbumu melesat melintasi langit demi langit.” Sidi Ahmad, salah seorang fakih di Fes mengatakan hal yang sama dengan yang engkau katakan padaku. Saya menjawabnya panjang lebar, dan kami akan mengutarakan sebagian darinya karena cinta kami padamu, bukan untuk menentangmu.

Sebagiannya ialah pernyataan seorang Sahabat, semoga Allah rida padanya: “Kami melaksanakan semua amal-amal, dan kami tidak melihat apa yang paling langsung terhubung Akhirat daripada zuhud di dunia ini.” Kami telah merasakan sebagian darinya. Karena itu, perkataanmu tidak kami tentang sebagaimana telah engkau saksikan. Juga, jika terdapat keharusan mendesak di amal-amal lahiriah, maka tidak terdapat apapun pada amal-amal batinnya karena tidak mungkin ada daya kekuatan di dua arah seperti telah kami sering katakan, dan dikatakan mereka yang lain.

Sidi Ahmad, saya katakan padanya bahwa tidak seorang pun bisa merasakan amal-amal tambahan kami kecuali khalayak yang rasanya murni. Mereka itu menempatkan seseorang jauh dari makhluk ciptaan dan dekat pada Allah. “Hal yang engkau tidak sukai dariku ialah apa yang menjadi idaman hatiku,” begitulah yang dikatakan. Sangat sedikit dari ahli Tarekat yang memiliki ini. Beberapa wali-wali yang kuat memilikinya, seperti Shaykh Abu Hafs Umar ibn al-Farid, semoga Allah rida padanya, ketika dia berkata:

Pegang teguh ujung jubah gairah dan singkirkan kerendah-hatian.
Tinggalkan jalan-jalan setapak mereka yang berlaku taat, bahkan jika itu
dilakukan sungguh-sungguh.

Serupa dengan perkataan, Shaykh Abu’l-Hasan Ali ash-Shushtari, semoga Allah rida padanya:

Kita ingin dipreteli dengan cara paling hebat,
Saat kalbuku berusaha bebas dariku.

Shaykh Izzu’d-din ibn Abdu’s-Salam, semoga Allah rida padanya, biasa berkata, “Adakah tarekat selain dari satu yang kita pahami dari Kitab dan Sunah?” Beliau menolak Tarekatnya Khalayak. Ketika beliau berjumpa ash-Shadhili dan belajar darinya, beliau mulai berkata, “Demi Allah, tidak seorangpun taat sesuai hukum-hukum kukuhnya Syari’at kecuali para sufi.” Imam al-Ghazzali, semoga Allah rida padanya, juga biasa berkata begitu sebelum berjumpa dengan shaykhnya, shaykh al-Bazghani.

Sidi Ahmad, saya katakan padanya bahwa banyak wali-wali, semoga Allah meridai mereka, telah menempuh setapak batiniah, dan tidak seorang pun memalingkan mereka dari setapak itu, tidak seorang pun apakah dia yang terkenal atau yang tidak terkenal. Allah Ta’ala berfirman di Kitab-Nya, “jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami telah menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (Surat 6 ayat 89).

Demikianlah, dan Allah Maha Tahu. Yang lahiriah dan yang batiniah adalah dua hal berlawanan, dan yang berlawanan hanya bisa disatukan oleh seseorang yang kakinya menapaki jejak kaki Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, seperti Imam Abu Bakr as-Siddiq, semoga Allah rida padanya, Imam Sayyiduna Umar ibn al- Khattab, Imam Sayyiduna Uthman ibn Affan, dan Imam Sayyiduna Ali ibn Talib, semoga Allah memuliakan wajahnya, dan putra-putranya al-Hasan dan al-Husayn, semoga Allah meridai mereka, dan wali mulia, al-Hasan al-Basri, wali mulia, Dhu’n-Nun al-Misri, wali mulia, Ibrahim Adham, wali mulia, Sufyan ath-Thawri, wali mulia, Maruf al-Karkhi, wali mulia, Abu Yazid al-Bistami, dan yang seperti mereka di antara para shaykh di Timur dan para shaykh di Barat. Mereka itu banyak, seperti yang kami katakan, semoga Allah rida pada mereka dan kita. Mereka hanya dikenali oleh dia yang telah mencapai makam mereka atau tiba di jejak-jejak mereka yang membimbingnya ke mereka. Sedangkan mereka yang lain itu, mereka itu berada di antara ahli lahiriah tanpa batiniah, atau khalayak batiniah tanpa lahiriah atau mereka bukan ahli lahiriah dan bukan ahli batiniah. Ini karena dua hal yang berlawanan hanya disatukan oleh rijal yang kakinya mengikuti kaki Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, seperti telah kami katakan. Sungguh amat sangat sukar. Diriwayatkan bahwa salah seorang malaikat, salawat dan salam bagi mereka, senantiasa bertasbih kepada Allah Ta’ala dan perkataan tasbihnya ialah, “Maha Suci Dia yang menyatukan es dan api!”

Shaykh Abu’l-Abbas Sidi Ahmad al-Yamani dan para shaykh kami di Fes dan para shaykh di Abdalawa yang bersama-sama dengannya, semoga Allah meridai mereka, keberatan pada perkataan Shaykh Sidi Ahmad al-Yusi, “Yang lahiriah dihiasi dengan jihad, dan yang batiniah disempurnakan dengan tafakur.” Mereka berkata padanya bahwa tidak mungkin ada kekuatan di dua arah. Jika yang lahiriah menjadi kuat karena jihad, maka yang batiniah menjadi lemah dalam tafakur. Jika yang batiniah menjadi kuat dalam tafakur, yang lahiriah menjadi lemah dalam jihad. Salah seorang dari junjungan berkata, “Jika engkau melihat seseorang peduli tentang lahiriahnya, maka ketahuilah bahwa batiniahnya itu runtuh.” Saya berkata: Hanya ada sedikit yang menyatukan lahiriah dan batiniah, Syari’at dan Hakikat, kesadaran dan kemabukkan, perpisahan dan penyatuan, dan selanjutnya. Kami telah menyampaikan berkali-kali perihal ini dalam pengajaran kami. Kami tidak perlu menjelaskannya lagi.

Mengenai penafsiran atas mimpi yang muncul kepada yang alim, syarif Abu’l-Abbas ibn Ajiba al-Manjari, maka itu ajaib (ajib), seperti namanya, Ibn Ajiba! Allah Maha Tahu, Sidi Ahmad, bergembiralah atas apa yang tapak diberikan padamu dalam mimpi oleh Nabi, sallallahu ‘alayhi wassalam. Ketahuilah bahwa itu ialah hadiah bagimu, sebagaimana melihat Baginda itu juga karunia ilahi. Kami melihat Rasul, sallallahu ‘alayhi wassalam, di kota Fes, sebelum kami bertemumu. Kami berada di kota itu dan Allah Maha Tahu di saat kaum Muslimin memasuki al-Barija. Sultan Muhammad ibn Abdullah ibn Ismail al-Alawi memasukinya di tahun 1182. Saya berniat berdiri menemui Baginda dari posisi telentang saya, namun Baginda memberi tanda padaku dengan tangan mulianya dua atau tiga kali agar tetap berada di tempatku. Saya ceritakan itu kepada junjungan saya saat bertemunya, semoga Allah rida padanya. Beliau mengatakan padaku, “Baginda, sallallahu ‘alayhi wassalam, telah memberimu keamanan.” Demi Allah, wajah keamanan muncul padaku dan saya melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Alhamdulillah wa shukrulillah. Setelah mimpi melihat Baginda itu, saya melihat putrid Baginda, Sayyidah Fatima az-Zahra, semoga Allah meridainya. Dengan mimpi itu, hatiku meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya dan seluruh syahwatnya dan tidak pernah mau kembali pada mereka dari semenjak saat itu, dan kami memperoleh kebaikan yang besar. Alhamdulillah wa shukrulillah!

Itulah sir-nya mimpi yang sahih. Junjunganku, semoga Allah rida padanya, untuk beberapa waktu, tenggelam dalam penyaksian Rasul, sallallahu ‘alayhi wassalam, baik saat terjaga dan tidur. Dengan begitu bagiku, dan Allah Maha Tahu, agaknya beliau itu lebih kuat dari Sidi al-Mursi karena ketercelupan dan percakapan beliau pada Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, yang saya lihat. Saya membersamai beliau selama bertahun-tahun, dan saya juga melihat beliau menjelaskan rasa yang beliau dapatkan dari Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam. Ada perbedaan besar antara dirinya dan Sidi al-Mursi. Siapa saja yang ingin mengenali yang ini dari yang itu haruslah membaca apa yang ditulis Sidi Ibn Ata’allah tentang junjungannya di kitabnya, Lata’if al-Minan, dan apa yang ditulis junjungan saya di kitabnya. Insya Allah, dia akan melihat siapakah di antara mereka yang kuat dan lemah dalam penyaksiaan Rasul, sallallahu ‘alayhi wassalam. Allah Subhanahu! Pemilik Kekuatan, dan Allah-lah yang Mengadili kami.

Jika kami berpendapat bahwa shaykh kami lebih unggul berdasar syahwat kami, kami berpendapat beliau lebih unggul sebagaimana Rabb-nya menganggapnya unggul. Kami rida dengan ilmu Rabb kami yang telah menggerakkan kami mengatakan apa yang telah kami katakan tentang shaykh kami itu. Perkataan itu bukanlah karena ketidak-ridaan atas ilmu Rabb kami. Jika saja kami berdiam tentang apa yang kami ketahui perihal kekuataan junjungan kami dalam penyaksiaan atas Rasul akibat khawatir seseorang akan menyatakan bahwa itu kami lakukan karena ketidak-ridaan atas ilmu Allah, maka urusannya tetap sama saja. Bukan demikian itu, dan kami katakan bahwa kami itu mengenal junjungan kami, baik dikatakan atau tidak pada kami bahwa kami rida dengan ilmu Rabb kami.

Hal lain juga menggerakkan kami untuk merinci kekuatan junjungan kami itu. Yakni karena kami melihat kondisi khalayak. Mereka tidak melihat bahwa dia yang ada bersama mereka itu memiliki keutamaan. Mereka berpendapat bahwa yang absenlah yang memilikinya. Inilah masalahnya bahkan jika dia itu ialah salah seorang mulia ahli kebajikan. Inilah kondisi kebanyakan mereka. Kami memohon perlindungan kepada Allah!
Salam.