Daras tentang Syari’at dan Hakikat
Oleh
Shaykh Mawlay Mortada El-Boumashouli
Istanbul, Oktober 2023
Telah diriwayatkan bahwa majelis itu ada dua macam: majelis zikir dan majelis ilmu. Suatu waktu, Rasulallah sallallahu ‘alayhi wassalam memasuki masjid dan melihat ada dua majelis. Di majelis yang satu, para sahabat beliau sedang berzikir pada Allah – menggunakan biji kurma sebelum adanya tasbih dan mereka juga menggunakan simpul-simpul tali pada untaian benang. Di majelis yang lain, khalayaknya sedang menuntut ilmu. Haqiqa wa Sharia! Beliau memilih untuk duduk di khalayak ilmu, dan mereka bertanya padanya, ‘Ya Rasulallah! Majelis mana yang terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Terdapat kebaikan pada keduanya, hanya saja aku diutus sebagai seorang guru. Betapa baiknya menggabungkan keduanya. Untuk mampu berzikir pada Allah dan juga terlibat dalam belajar dan ilmu itu ialah menyatukan kedua kebaikan itu, dua lautan – lautan Hakikat dan lautan Syari’at.’
Nabi Musa, ‘alayhi salam, memiliki ilmu Syari’at dan beliau senantiasa mengajar bani Israil. Bani Israil itu selalu bertanya hal-hal yang gasal (ganjil), di Al-Quran penuh pertanyaan aneh mereka itu. Salah satu pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi Musa ialah, ‘Apakah di muka bumi ini ada orang yang lebih alim darimu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada,’ menjawab sesuai pengetahuan beliau. Allah menegurnya, dengan berfirman ada seseorang yang lebih alim darinya. Nabi Musa berkata, ‘Ya Rabb, aku ingin menemui orang itu.’ Beliau tidak berlaku sombong; beliau ingin belajar dari dia yang lebih alim darinya. Allah, Subhanahu wa ta’ala, berfirman padanya, ‘Pergilah ke tempat perjumpaan dua lautan.’ Mengapa Allah memilih tempat di perjumpaan dua lautan itu? Perihal lahiriah berkait perihal ruhaniah. Itu berarti bahwa di tempat itu, seseorang dapat menyatukan lautan Hakikat dan lautan Syari’at. Maka, Nabi Musa pergi ke tempat itu dan berjumpa Sayyidina Al-Khidr, yang merupakan samudera Hakikat, dan hanya belajar tiga perkara darinya.
Pertama, Sayyidina Khidr berkata pada Nabi Musa, ‘Sebagai syarat untuk mengikutiku, jangan bertanya padaku kenapa aku melakukan sesuatu. Jika engkau bertanya padaku, maka kita harus berpisah.’ (Surat Al-Kahfi ayat 70). Nabi Musa menjawab, ‘Engkau akan melihat bahwa aku bersabar,’ (Surat Al-Kahfi ayat 69), walau pun sudah berjanji begitu, Nabi Musa tidak bisa bersabar. Beliau tidak bisa bersabar ketika dia melihat suatu yang keji berlangsung. Beliau bersabar ketika beliau mengajak khalayak kepada Allah, namun jika beliau melihat suatu ketidakadilan, beliau tidak bisa bersabar karena beliau mengetahui Syari’at. para ahli ilmu mengambil pelajaran dari hal itu: bahkan jika engkau berilmu, jika engkau melihat ahli Hakikat melakukan sesuatu, jangan cepat-cepat menghakimi mereka. Tunggu hingga engkau sepenuhnya memahami apa yang sedang berlangsung, bahkan jika kalian menyaksikan, pada lahirnya, seakan bertentangan dengan Syari’at karena ini satu hikmah pada Al-Quran. Jadi, Sayyidi Khdir pertama-tama membuat lubang di perahunya. Nabi Musa, berkata, ‘Kenapa engkau lakukan ini? Orang ini telah membawa kita dari satu tempat ke tempat lain, dan dengan demikiankah engkau membayarnya?’ Sayyidi Khidr berkata, ‘Bukankah saya sudah berkata bahwa engkau tidak akan bisa bersabar?’ Lalu Nabi Musa berkata, ‘Maaf, saya lupa.’ (Surat Al-Kahfi ayat 71-73).
Mereka meneruskan perjalanan hingga bertemu seorang anak laki-laki. Kini akan terjadi kekejian yang lebih besar dari yang pertama, dan Sayyidi Khdir membunuh anak itu. Betapa mengerikan! Peristiwa yang amat buruk! Nabi Musa berkata, ‘Tahukah engkau bahwa engkau telah membunuh seorang anak yang masih suci tanpa alasan yang benar.’ Karena Nabi Musa menguasai Syaria’t, sebagaimana yang telah diwahyukan kepadanya: ‘Kami telah tetapkan kepada Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang, maka itu seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.’ (Surat Al Maidah ayat 32). Lalu Nabi Musa berkata, ‘Maaf, saya tidak akan bertanya kepadamu lagi. Jika saya bertanya lagi, maka saya tidak akan menyertaimu lagi.’ (Surat Al-Kahfi ayat 76).
Lalu mereka meneruskan perjalan hingga mereka tiba di sebuah desa. Mereka ditawari akomodasi dan makanan di sana, namun mereka menolaknya lalu duduk di dekat sebuah dinding. Mereka menyadari bahwa dinding itu miring dan akan rubuh. Sayyidi Khidr mengambil lumpur dan air bersiap untuk memperbaiki dinding tersebut. Nabi Musa berkata, ‘Engkau bisa memperoleh upah darinya. Mereka akan memberimu sesuatu untuk makan dan minum sebagai upah atas kerja yang engkau lakukan.’ Sayyidi Khidr berkata, ‘Di sini engkau dan aku harus berpisah.’ (Surat Al-Kahfi ayat 77-78).
Jadi, apakah penjelasan dari kisah ini? Saya sampaikan pada kalian. Tentang perahu itu, akan datang seorang raja dengan pasukannya yang akan merebut semua perahu yang baik kondisinya. Perahu tadi milik khalayak miskin, maka Sayyidi Khdir berkata, ‘Saya akan membuat perahu ini menjadi tidak baik sehingga perahunya tidak akan direbut. Mereka akan melihatnya tidak bagus dan tidak mau mengambilnya.’
Sedang tentang anak laki-laki itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kakek moyangnya, diriwayatkan dua belas generasi sebelumnya, seluruhnya mukmin salihin. Dan anak itu akan menjadi seorang tiran kufur, yang akan memaksa kedua orangtuanya menjadi kafir. Allah menginginkan mengganti anak laki-laki itu bagi orang tuanya, dengan anak yang lebih baik. Ingatlah jika kita saksikan, di masa kita dan di zaman selainnya, anak-anak dibunuh, Rasulallah sallallahu ‘alayhi wassalam ditanya tentang apakah kesalahan anak-anak sehingga dibunuh dengan cara begitu. Beliau menjawab, ‘Allah tahu apa yang akan mereka lakukan, dan padanya terdapat kebaikan bagi orang tua dan ibu-ibu mereka. Mereka tidak akan menyakiti mereka di dunia ini, dan mereka akan memberi manfaat di akhirat kelak.’
Sedang hikmah ketiga atas dinding itu, ialah bahwa dinding itu milik dua orang anak dan ada harta tersembunyi di bawahnya. Kedua anak itu masih amat kecil dan muda. Jika dinding itu rubuh, tempat hartanya akan diketahui, dan uangnya akan tersia-sia. Jadi Allah berkehendak mereka bisa dewasa dan mengambil harta tersebut. Lalu Sayyidi Khdir berkata, ‘Dan saya tidak melakukan semua itu dari keinginan saya sendiri.’ Ahli Hakikat tidak bertindak atas keinginan dan hasrat mereka sendiri. Mereka tidak diberi wahyu; itulah ilham dari Allah, yang berasal dari Syari’at karena Syari’at itu pintunya. Karena itu, dibutuhkan untuk menggabungkan Syari’at dan Hakikat. Syari’at dan Hakikat itu yang mendorong insan manusia. Imam Malik, semoga Allah meridainya, berkata, ‘Siapa yang belajar Syari’at tanpa mengambil Hakikat menjadi fasik. Dan siapa mengambil Hakikat tanpa Syari’at menjadi sesat. Siapa yang menggabungkannya memperoleh kebenaran.’
Imam Ash-Shadhili, semoga Allah meridainya, berkata, ‘Urusan kita ini berasal dari Kitab Allah dan Sunah Rasulallah sallallahu ‘alayhi wassalam, dan siapa saja yang kalian lihat menentang Kitab dan Sunah, lempar dia ke dinding.’