Dari Al-Hikam karya Shaykh Abu Madyan al-Ghawth, rahimahullah. Dikutip dari “Mengaji al-Hikam Jalan Kalbu Para Perindu Tuhan” halaman 236-240 dengan sedikit penyesuaian.
Hikmah 124.
Shaykh Abu Madyan menyatakan:
“Kefakiran merupakan kebanggaan, ilmu merupakan kekayaan, diam adalah keselamatan, putus asa adalah kelapangan, zuhud merupakan kesehatan dan lalai dari Allah adalah kerugian.”
Syarahnya oleh Ibn llan al-Shiddiq al-Syafii:
Jika kau telah menyadari sifat-sfatmu dan ketergantunganmu kepada sifat-sifat-Nya, berarti kau telah memasuki hakikat kefakiran. Ketahuilah, sifatmu adalah fakir, lemah, tidak berdaya, dan hina. Sebaliknya, sifat-sifat Allah adalah kaya, kuat, mampu, dan mulia. Jika kau menetapi kondisi hamba, kemudian mengaitkan dirimu kepada kondisi Allah maka kau telah meraih kelemahan sekaligus ketinggian. Akan tampak darimu segala sesuatu yang sedap dipandang dan enak didengar karena kau telah mewujudkan ubudiyahmu kepada Allah dan kembali kepada muasal sejatimu serta terus berada di pintu Zat yang memberimu nikmat.
Shaykh Abu Madyan rahimahullah mengatakan dalam hikmah di atas bahwa ilmu merupakan kekayaan. Maksudnya, ilmu bermanfaat yang berasal dari Kitabullah, Sunnah Rasul sallallahu alayhi wassalam, dan perkataan para wali merupakan kekayan din dan dunia. Disebut kekayaan din karena dengan ilmu itu kau tidak lagi perlu bertanya kepada orang lain tentang cara memperbaiki lahir dan batinmu. Disebut kekayaan dunia karena dengan ilmu itu kau dapat mengetahui bagaimana mendapat segala sesuatu yang kau butuhkan dengan kembali kepada Allah, bersimpuh di pintu-Nya, dan bersandar pada kekayaan-Nya. Kau tidak lagi mengalihkan perhatian kepada selain Dia. Kondisi ini hanya bisa diraih dengan ilmu yang bermanfaat. Ketika ilmu seperti itu telah tertanam kokoh dalam hatimu, disertai keyakinan bahwa Allah lebih dekat daripada urat nadi, serta lebih kasih daripada yang dekat dan yang jauh, batinmu akan senantiasa berujar kepada Allah:
Adakah yang lebih mulia dari-Mu hingga layak kuharap;
Adakah yang lebih kasih dari-Mu hingga pantas kuminta;
Adakah yang lebih mendengar dari-Mu hingga patut kuseru;
Adakah yang lebih dekat dari-Mu hingga layak kusandari.
Wahai Yang Maha Mendengar, wahai Yang Maha Dekat, wahai Yang Maha Menjawab, dengarkanlah do’aku dan penuhilah hajatku. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu. Siapa pun yang berlindung kepada-Mu, sungguh ia telah berlindung kepada pilar yang kokoh. Bagaimana tidak kaya orang yang telah memiliki pengetahuan semacam ini? Bagaimana mungkin orang yang telah dibukakan baginya pengetahuan semacam ini akan membutuhkan orang lain?
Ungkapan Shaykh Abu Madyan rahimahullah bahwa diam adalah keselamatan maksudnya adalah selamat dari bahaya dan ancaman. Sebab, manusia sering kali celaka akibat lisannya. Jika ia diam, ia akan selamat dari bahaya.
Imam al-Ghazali rahimahullah menuturkan bahwa lisan memiliki duapuluh macam penyakit. Ia menjelaskannya secara rinci dalam Ihya Ulum al-Din.
Nabi sallallahu alayhi wassalam bersabda kepada Muaz, yang artinya, “Hai Muaz, maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang dapat menghimpun semua itu?”
“Tentu, wahai Rasulallah.”
“Jaga ini!” sabda Rasul seraya menunjuk lidahnya.
Mendengar hal tersebut, Muaz radiallahu anhu kembali bertanya, “Apakah kita dihukum dengan apa yang dikatakan oleh lisan ini, wahai Rasulallah?”
“Celaka engkau, wahai Muaz. Banyak manusia dimasukkan ke neraka akibat lisan mereka.” (H.R. al-Tirmidzi 5/11, al-NasaI dalam al-Kubra 6/428, dan Ibn Majah 2/1314). Karena itu keselamatan terletak pada sikap diam.
Dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu alayhi wassalam ditanya oleh Uqbah ibn Amir radiallahu anhu, “Di manakah letak keselamatan, wahai Rasulallah?”
Rasul menjawab, yang artinya, “Menjaga lisan, betah di rumah, dan menangisi dosa.” (H.R al-Tirmidzi 4/305).
(Bersambung…)