Shaykh Abdalhaqq Bewley menulis dan menjelaskan tentang Takdir Ilahi dalam karyanya, Islam Its Basic Practices and Beliefs halaman 209 -219 :
Itulah mengapa kita melihat bahwa Nabi sallallahu alayhi wasalam walau pun dalam kedudukannya yang tidak terbandingkan sebagai yang dicintai Allah dan ilmunya, bahwa Baginda telah diberikan ampunan paripurna dari Allah atas adanya kekhilafan, senantiasa terus-menerus bergiat mencari keridaan Rabb-nya hingga Baginda wafat. Dan hal yang sama juga berlaku kepada mereka seluruhnya yang meneladani Baginda lahir dan batinnya, Khalifah Rashidun, para Sahabat yang mulia, dan para awliya’ dan para Muslimin salihin umat Baginda sepanjang seluruh generasi hingga di waktu kita ini. Dari segenap manusia merekalah yang memiliki ilmu yang terbesar tentang, dan memiliki keimanan terdalam pada, Takdir Ilahi dan pada saat yang sama merekalah yang memiliki alasan untuk merasa pasti atas rahmat Allah. Namun demikian tanpa terkecuali mereka telah menolak untuk setitik pun merasa puas diri, telah benar-benar sangat cermat untuk menghindari apa yang tidak diridai Allah, dan sepanjang hidup mereka telah tanpa kenal lelah mencari amal-amal yang akan menjadikan mereka diridai Rabb mereka. Inilah wujud sebenarnya pemahaman mendalam sejati perihal Takdir Ilahi itu.
Sebuah penjelasan lebih luas dari perihal ini dapat ditemukan dalam sebuah karya tulis seorang ulama mulia abad kesembilan belas asal Maroko, Ahmad ibn Ajiba, yang sebagiannya disampaikan di sini:
Sebagai bukti tentang Takdir dalam Kitab-Nya Yang Mulia, Allah berfirman,
إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ ٤٩
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (54:49), yang maknanya adalah menghadirkan mereka melalui sebuah takdir. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلَّ شَيۡءٍ أَحۡصَيۡنَٰهُ فِيٓ إِمَامٖ مُّبِينٖ ١٢
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam catatan (Kitab Induk) yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (36:12), merujuk kepada Kitab Induk (Lauh Mahfuzh) yang padanya segala sesuatu yang wujud dicatat. Allah berfirman,
وَكُلُّ شَيۡءٍ عِندَهُۥ بِمِقۡدَارٍ ٨
“Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya” (13:8) dan,
وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨
“Dan adalah ketetapan/perintah/amr Allah itu suatu takdir/ketetapan yang pasti berlaku” (33:38) dan,
وَلَٰكِن لِّيَقۡضِيَ ٱللَّهُ أَمۡرٗا كَانَ مَفۡعُولٗا
“Akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan/ketetentuan yang mesti dilaksanakan” (8:42). Allah Ta’ala berfirman selanjutnya,
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam sebuah Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (57:22) dan, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi seperti kekeringan, kelaparan, gempa bumi dan banjir dan (tidak pula) pada dirimu sendiri seperti penyakit dan kematian melainkan telah tertulis dalam sebuah Kitab – Lauhul Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. (57:22).
Melanjutkan darinya Allah Ta’ala berfirman,
لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (57:23) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu karena itu telah ditetapkan/ditakdirkan sejak azali bahwa itu tidak akan tiba atau tidak akan berlanjut, karenanya engkau tidak harus sedih tentang sesuatu yang tidak akan pernah engkau dapat/peroleh sejak awalnya dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu (57:23), karena bahkan sebelum itu muncul itu telah ditakdirkan bagimu dan akan mendatangimu. Apa yang diharapkan adalah sebuah sikap yang setimbang antara menahan dan memberi, kesempitan dan kelapangan, kehilangan dan perolehan, kerendahan dan kekuasaan, kemiskinan dan kekayaan, sehat dan sakit, dan berbagai keadaan yang berbeda-beda, karena seluruh hal ini terjadi menurut ketetapan takdir sebelumnya. Sehingga jangan terlalu sedih atas sesuatu yang tidak engkau miliki dan jangan terlalu bergembira atas sesuatu yang engkau peroleh.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا
“Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (65:3), yang artinya sebuah masa hidup yang dikenali dan waktu-waktu terjadinya yang telah ditakdirkan, yang tak dapat dipercepat atau ditunda walau sesaat pun. Allah Ta’ala berfirman tentang tibanya waktu kematian,
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya,” (3:145) artinya adalah bahwa kematian seseorang itu telah ditetapkan bahkan sebelum mereka dilahirkan. Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ
“Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya). (6:2). Yang pertama merujuk kepada kematian dan yang kedua kepada Kebangkitan dari kematian.
Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ ٱلَّذِي يَتَوَفَّىٰكُم بِٱلَّيۡلِ وَيَعۡلَمُ مَا جَرَحۡتُم بِٱلنَّهَارِ ثُمَّ يَبۡعَثُكُمۡ فِيهِ لِيُقۡضَىٰٓ أَجَلٞ مُّسَمّٗىۖ
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan,” (6:60) sehingga engkau bisa yakin bahwa akhir dari umurmu telah ditetapkan Allah sebelum adanya waktu. Ia berfirman,
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ تَوَفَّتۡهُ رُسُلُنَا وَهُمۡ لَا يُفَرِّطُونَ ٦١
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya,” (6:61), dengan kata lain mereka datang pada waktu yang tepat, tidak lebih cepat atau telat semenit pun. Allah Ta’ala berfirman,
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌۚ إِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ فَلَا يَسۡتَٔۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya),” (10:49). Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا يُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٖ وَلَا يُنقَصُ مِنۡ عُمُرِهِۦٓ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۚ
“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur makhluk hidup yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). (35:11). Makna dari ayat ini adalah tidak sesuatu pun diberikan hidup yang panjang atau pendek melainkan telah ditetapkan dan dicatat di Lauh Mahfuzh. Dikatakan bahwa suatu pengurangan umur kehidupan berada dalam pengetahuan para malaikat namun jika seseorang memelihara silaturahim, misalnya, maka muncullah penambahannya di sisi Allah. Sang hamba hanya memiliki satu kehidupan bersama Allah yang tidak bisa diperpanjang atau diperpendek. Sebagaimana firman-Nya,
يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ ٣٩
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),” (13:39), yang bermakna, Ia memusnahkan apa yang berada pada malaikat-malaikat dan meneguhkan apa yang ada di sisi-Nya, yaitu Ummul Kitab/Kitab Induk. Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبۡلُۖ وَلِتَبۡلُغُوٓاْ أَجَلٗا مُّسَمّٗى وَلَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٦٧ هُوَ ٱلَّذِي يُحۡيِۦ وَيُمِيتُۖ
“Di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). Dialah yang menghidupkan dan mematikan.” (40:67-68). Ini maknanya adalah sebagian orang wafat sebelum menjadi tua sedangkan yang lainnya waktunya ditunda sehingga mereka mencapai sebuah waktu tertentu yang telah dikenali di azalnya. Para malaikat mencatat waktu tersebut saat ruh ditiupkan kepada seseorang di dalam rahim. Semoga engkau memahami dan mengenali bahwa mati dan hidup keduanya berada di tangan Allah dan karenanya, tidak ada suatu penyebab pun, apakah itu wabah atau apa pun lainnya, memiliki pengaruh nyata dalam hal membawa kematian. Sesungguhnya seluruh perkara tersebut adalah milik Allah. Karena itu Ia berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي يُحۡيِۦ وَيُمِيتُۖ فَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٦٨
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan,” (40:68). Ia-lah yang melakukan hal-hal itu, bukan selain-Nya.
إِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٣٥
“Apabila Dia telah menetapkan sesuatu,” – kematian atau apa pun yang lain – “maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia.” (19:35), Ia berfirman,
يَغۡفِرۡ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُؤَخِّرۡكُمۡ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمًّىۚ إِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ إِذَا جَآءَ لَا يُؤَخَّرُۚ لَوۡ كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤
“Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui” (71:4). Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana panjang kehidupan seseorang itu telah ditetapkan dengan pasti. Semua umur telah ditetapkan pada azalnya. Allah tidak memperlambat atau mempercepat waktu kematian seseorang pun, apakah karena wabah atau apa pun jua. Karenanya khalayak haruslah tenang di hadapan Takdir dan menanti apa yang akan Allah lakukan kepada mereka.
Sedangkan bukti dalam Sunna, Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata kepada Ibn Abbas, “Ibn Abbas, aku akan mengajarimu beberapa kalimat. Berhati-hatilah kepada Allah dan Ia akan mengurusimu. Berhati-hatilah kepada Allah dan engkau akan dapati Ia di hadapanmu. Ingati Allah ketika mudah dan Ia akan mengingatimu ketika susah. Ketahui bahwa apa yang tidak kena padamu, tidak akan mungkin mengenaimu dan apa yang mengenaimu, tidak mungkin tidak kena padamu.” (Ahmad). Baginda menambahkan dalam riwayat lain, “Pena telah diangkat dan halamannya telah kering.” (At-Tirmidhi), mengisyaratkan bahwa apa yang tidak diperoleh seseorang karena itu tidak dituliskan bagi mereka, tidak akan sampai kepada mereka, apakah itu baik atau buruk, hidup atau mati. Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata kepada Abu Hurayra radiallahu anhu, “Penanya sudah kering tentang apa yang akan engkau temui, Abu Hurayra.” (Al-Bukhari dan an-Nasai).
Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Segala sesuatu itu menurut suatu takdirnya, bahkan ketidakmampuan dan kepandaian.” Malik meriwayatkannya dalam Al Muwatta. Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Seorang laki-laki bisa melakukan amal-amal seorang yang ditakdirkan menuju Taman (Surga) hingga hanya berjarak selengan saja antara dia dan Taman, lalu apa yang telah tertulis baginya mengejarnya dan dia akan melakukan amal-amal seseorang yang ditakdirkan menuju Api (Neraka) dan memasukinya. Seorang laki-laki bisa melakukan amal-amal seorang yang ditakdirkan menuju Api hingga hanya berjarak selengan saja antara dia dan Api, lalu apa yang telah tertulis baginya mengejarnya dan ia melakukan amal-amal seorang yang ditakdirkan menuju Taman dan memasukinya.” Al-Bukhari dan yang lain meriwayatkannya.
Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Rezeki mencari seseorang sebagaimana akhir umurnya mencarinya.” (Al-Bazzar, at-Tabarani dan Ibn Adi). Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Allah menugasi satu malaikat kepada rahim lalu berkata, ‘Ya Rabb, setetes! Ya Rabb, segumpal! Ya Rabb, sekerat daging!’ Ketika ruh ditiupkan padanya, malaikat berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana rezekinya? Bagaimana umurnya? Celaka atau bahagia?'” Semua itu telah ditakdirkan di dalam rahim ibunya, sebagaimana Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata menjelaskan hakikat iman: “Yaitu engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir dan engkau beriman kepada Takdir, apakah baik dan buruknya.” Baginda menambahkan dalam riwayat lain, “Apakah manis dan getirnya.” ‘Baik’ dari takdir itu merujuk pada ketaatan kepada Allah dan berlaku baik. ‘Buruk’ itu adalah kemusyrikan. Yang ‘manis’ adalah hal-hal yang bersesuaian dengan insan manusia, seperti kekayaan dan kesehatan dan berbagai jenis keindahan. Yang ‘getir’ itu adalah apa yang menyusahkan seorang manusia, seperti penyakit dan kemiskinan, kerendahan dan berbagai jenis kehebatan. Seluruhnya telah ditakdirkan dan diputuskan.
Siapa pun yang meragukan hal ini adalah seorang tidak beriman menurut ijma. Seseorang yang beriman kepada Takdir dalam pengetahuannya, namun tidak rida kepadanya ketika itu terjadi, adalah seorang yang menyimpang menurut ijma. Karena itu Malik radiallahu anhu berkata, “Sesiapa yang bersyari’at tanpa tasawuf, menyimpang.” Shaykh Abul-Hasan radiallahu anhu berkata, “Sesiapa yang menghembuskan napas terakhirnya tanpa mengenali ilmu kami ini (tasawuf), wafat memperturutkan dalam amal-amal keliru yang besar tanpa menyadarinya.” Sesiapa yang tidak mengagumi ahli tahir, tidak menginginkan disebut bersama kesucian. Tahir adalah keridaan dan penerimaan atas segala yang dihadirkan dari Al Hakim, Al ‘Alim.
Nabi sallallahu alayhi wasalam bersabda, “Ruhul Qudus menyampaikan kepada ruhku: ‘Jiwa seseorang tidak akan wafat hingga ia telah menerima seluruh rezekinya, karena itu bertakwalah kepada Allah dan sedang-sedang saja dalam mencari (rezeki) nya.'” Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Rabb-mu telah mentakdirkan empat perkara: perawakan dan akhlak, rezeki dan umur.” At-Tabarani menyampaikan ini dalam al-Awsat. Dalam riwayat Ahmad kami menemukan, “Allah Ta’ala telah menakdirkan lima perkara bagi tiap hamba: umurnya, rezekinya, langkahnya, dimana ia akan wafat, apakah dia celaka atau bahagia.” Yang dimaksud dengan langkah adalah langkah-langkah yang akan dijalaninya.
Karenanya rezeki, baik jasmani dan ruhani, telah ditetapkan sebelum adanya waktu, sebagaimana umur dan langkah telah ditetapkan. Demikian pula dengan derajat dan maqam. Penanya sudah kering menuliskan itu semua. Sahabat berkata, “Rasul Allah, lalu apa gunanya beramal?” Nabi sallallahu alayhi wasalam berkata, “Beramallah. Tiap-tiap dimudahkan untuk apa dia diciptakan.” (Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan at-Tabarani dalam al-Kabir). Dalam sebuah riwayat lain Baginda menambahkan, “Jika ia salah satu dari ahli bahagia, maka amal-amal ahli bahagia dimudahkan baginya. Jika ia salah seorang ahli celaka, amal-amal ahli celaka dimudahkan baginya.” Lalu Baginda membaca,
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ١٠
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Taman) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (92:5-10)” (Ahmad, al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidhi dan Ibn Majah).
Jika engkau bertanya, Jika Takdir telah mendahului menetapkan apa yang akan terjadi, sehingga hamba tidak bisa menghindarinya, maka apa alasannya hamba harus bertanggungjawab dan dihukum? Jawabnya adalah dengan kecemerlangan Hikmah Allah yang mewujud pada mahluk manusia, Ia menjadikan mereka bertanggungjawab sesuai pada apakah mereka berniat baik atau buruk dalam apa yang dikerjakannya. Pada hakikatnya, mereka itu ditarik oleh sebuah rantai, namun Syari’at menetapkan amal-amal mereka kepada mereka karena pertanggungjawaban itu dan agar bukti terhadap mereka terwujud. Allah Taala berfirman,
قُلۡ فَلِلَّهِ ٱلۡحُجَّةُ ٱلۡبَٰلِغَةُۖ فَلَوۡ شَآءَ لَهَدَىٰكُمۡ أَجۡمَعِينَ ١٤٩
“Katakanlah: ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada tiap-tiap kamu semuanya.’” (6:149). Maka kerajaan ini adalah kerajaan-Nya dan hamba-hamba/makhluk adalah hamba-Nya.
لَا يُسَۡٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسَۡٔلُونَ ٢٣
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (21:23).
Demikan pula dengan rezeki. Ia telah ditetapkan sebelum adanya waktu dan dijamin dengan jaminan Allah Ta’ala namun hikmah-Nya menyebabkan bahwa rahasia-rahasia Rububiyya harus tersembunyi, dan karenanya, itu didampingi oleh keberadaan sarana-sarana namun ia tidak dihadirkan karena sarana-sarana itu. Karenanya sarana-sarananya harus tersedia namun ketiadaan mereka secara hakikat harus diakui. Benar, sesiapa yang sungguh bertakwa dan bertawakal pada Allah diberikan tanpa suatu penyebab pun. Al Aziz berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah cukup baginya.” (65:2-3). Shaykh Abul-Abbas berkata, “Khalayak memiliki sarana-sarana, sedang sarana kita adalah iman dan taqwa.” Lalu beliau membaca,
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (7:96).
Sedang kalimat pernyataan tentang Takdir dari salihin generasi pertama, diantara perkataan yang terkenal adalah, “Apapun yang Allah kehendaki akan terjadi. Apapun yang tidak dikehendaki Allah tidak akan pernah terjadi.” Disebutkan pula bahwa perkataan tersebut adalah sebuah hadist. Umar ibn Abdul-Aziz berkata, “Aku tidak merasa bahagia kecuali berada di dalam Takdir.” Salah seorang diantara mereka ditanya, “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab, “Apapun yang ditakdirkan Allah.” Ibn Ataillah menulis dalam al-Hikam, “Bagaimana mungkin permintaanmu yang kemudian itu adalah sebuah penyebab pemberian-Nya sebelum itu? Takdir dari Azal terlalu hebat untuk ditetapkan kepada amal apapun. Kepedulian-Nya padamu tidak berasal darimu. Dimanakah dirimu ketika Ia mengarahkan kepedulian-Nya kepadamu dan menghadapkan dirimu dengan perlindungan-Nya? Tidak ada amal ikhlas di azal. Tidak ada keadaan yang wujud di azal. Hanya ada limpahan karunia suci dan pemberian yang besar.” Maksudnya adalah apa yang telah ditakdirkan bagimu di Alam Gaib azali adalah apa yang muncul bagimu di alam yang terlihat ini. Tidak ada peluang amal apa pun di masa itu yang menjadikanmu pantas memperoleh sebuah hadiah atau pun suatu keadaan yang menjadikanmu pantas dibawa mendekat kepada Allah atau hadir kepada-Nya. Pemberian-Nya kepadamu hanyalah semata suatu karunia dari-Nya dan kedermawanan. Allah memiliki karunia yang sangat besar.
Ketahuilah bahwa khalayak terbagi dalam empat kelompok mengenai pandangan mereka terhadap Takdir. Yang pertama melihat kepada takdir yang ada sebelumnya dan ketentuan yang melekat padanya. Yang kedua melihat kepada akhirnya karena mereka mengetahui bahwa amal-amal itu sesuai akhir penutupnya. Yang ketiga melihat saat dan tidak teralihkan oleh apa yang ada sebelumnya atau akhirnya, hanya melaksanakan apa yang diwajibkan pada saat itu, karena tahu bahwa si faqir adalah anak dari saatnya. Mereka hanya memperhatikan saat di mana mereka berada. Yang keempat menyaksikan Allah saja karena mereka tahu bahwa masa lalu, masa depan, dan masa kini berada di dalam genggaman Tangan Al Haqq dan berlaku sesuai ketetapan-ketetapan-Nya. Seluruh saat menerima perubahan dan keadaan dapat berubah. Mereka menyaksikan bahwa segala sesuatu berada di tangan-Nya. Kelompok ini telah beristirahat dari kekeruhan pengaturan, sebab penyaksian mereka kepada Yang Maha Mengatur menjadikan mereka lupa pada takdir yang ada sebelumnya, inilah yang membedakan dari tiga kelompok sebelumnya yang masih dikuasai penyaksian keterpisahan.
Kelompok pertama terbagi perhatiannya oleh rasa takut atas takdir-takdir yang ada sebelumnya. Yang kedua silau oleh rasa takut di akhir dan di penutupnya. Karena melihat ketetapan di saat itu dan menyaksikan ketetapan-ketetapannya, yang ketiga dibuat lupa menyaksikan Sang Pencipta Saat. Ketika tirainya dilepaskan dari kelompok keempat, dan mereka menyaksikan Rabbi wa Rabbana, penyaksian kepada Al Ahad memalingkan mereka dari segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun yang memalingkan mereka dari Allah. Karena itulah dikatakan, “Mereka yang berhasil adalah dia yang tidak melihat selain Allah di kedua Alam dan tidak menyaksikan selain Allah bersama Allah. Segala sesuatu ditundukkan kepadanya dan ia tidak tunduk kepada sesuatu apa pun. Dengannya, ia tersucikan dari kekeruhan segala sesuatu dan kesuciannya tidak terganggu oleh sesuatu apa pun. Yang Ahad memalingkannya dari apa pun dan tidak ada apa pun yang memalingkannya dari Yang Ahad.”
Pendek kata, dia yang menginginkan ketentraman berkelanjutan haruslah menyungkurkan dirinya di hadapan Allah, memperhatikan tiap saat apa yang hadir dari Allah, dan rida kepada rangkaian apa yang ditakdirkan baginya dan karenanya undur diri dari pengaturannya dan pilihannya sendiri. Perhatikan apa yang dikatakan Sang Qutb Sidi Yaqut al-Arshi:
“Yang ada hanyalah apa yang dikehendaki-Nya, maka lepaskan kekhawatiran-kekhawatiranmu dan sujudlah.”
“Tinggalkan apa pun yang mengalihkan perhatianmu dari-Nya dan lepaskanlah.”
Maka menjadi jelaslah bahwa segala sesuatu yang telah terjadi atau akan terjadi telah ditakdirkan di masa azal dan saat, serta cara kejadiannya adalah tertentu dan tidak bisa dipercepat atau dilambatkan. Namun demikian adalah bagian dari hikmah Yang Maha Tahu bahwa Ia telah menutupi rahasia ini dengan jubah kebijaksanaan, dengan memberikan kepada segala sesuatu penyebabnya. Maka Takdir pun turun pada saatnya yang telah dipilihkan di masa azal dan ia tertutupi dalam keberadaan penyebabnya sehingga dikatakan, “Ini dan itu melakukannya,” dan “Inilah yang terjadi padanya,” dan “Fulan dan fulan pergi menuju sebuah tempat yang ada wabahnya dan meninggal karenanya,” atau “Ia membawanya ke tempat yang lain.” Hanya berhenti pada perwujudan lahiriah ini tanpa melihat kepada sisi batiniahnya dan cara Takdir hadir adalah sebuah tirai yang tebal dan kejahilan paripurna. Ini bahkan bisa membawa kepada ketidak berimanan jika seseorang mempercayai sebab dan akibat sembari menafikan Takdir. Banyak kaki telah terpeleset karena perihal ini diantara mereka yang mengaku berilmu. Mereka itu hanya memiliki rumusan ilmunya namun tidak hakikatnya.
Keyakinan atas Takdir diperkuat dengan kabar-kabar yang sampai melalui berbagai riwayat tentang hal-hal sebelum mereka terjadi dan yang kemudian terjadi. Beberapa diantaranya melalui Wahyu, seperti firman Allah Ta’ala,
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. (24:55). Kemudian Allah menjadikan para Sahabat berkuasa teguh di Timur dan Barat. Contoh lainnya bisa dilihat pada firman Allah Ta’ala,
الٓمٓ ١ غُلِبَتِ ٱلرُّومُ ٢ فِيٓ أَدۡنَى ٱلۡأَرۡضِ وَهُم مِّنۢ بَعۡدِ غَلَبِهِمۡ سَيَغۡلِبُونَ ٣ فِي بِضۡعِ سِنِينَۗ
“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi.” (30:1-4). Lalu mereka mengalahkan Persia di masa Hudaybiyya. Allah berfirman,
لَتَدۡخُلُنَّ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمۡ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَۖ
“Bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. (48:27). Ini terjadi pada Hari Fathul Makka kepada Islam.
Bahwa Nabi sallallahu alayhi wasalam mengabarkan hal-hal di masa depan yang gaib terdapat begitu banyak sekali kejadian yang disampaikan. Nabi sallallahu alayhi wasalam memperingatkan tentang pemberontakan yang akan terjadi setelah Baginda wafat seakan-akan Baginda sedang sungguh-sungguh menyaksikannya. Segalanya telah terjadi. Jika segala sesuatu itu terjadi secara kebetulan sebagaimana dikatakan kaum Rafidah dan Qadariah, tentu tidak akan ada kabar-kabar tentang hal-hal yang belum terjadi lalu terjadi itu. Jika engkau mengatakan, “Segala yang engkau kerjakan hanyalah sekedar memberitakan sesuatu yang telah dikenali karena seluruh Muslimin mengatakan perihal ini,” maka saya berkata, “Niat kami tidak hanya terbatas sekedar pada ilmu. Kami menginginkan untuk menanamkan keyakinan. Tidak ada keraguan bahwa itulah yang dihasratkan. Itu adalah salah satu dari pasukan cahaya-cahaya dan itu membawa kepada keberhasilan. Allah adalah Pembimbing kepada Sirat Al Mustaqim.”
Kutipan agung dan berkilauan ini tidak bisa hanya dipahami sekedar sebagai suatu teologi, karena kutipan ini muncul dari pengalaman kehidupan dari orang-orang yang menyaksikan di tiap-tiap saat kebenaran Takdir.