Ruh dan nafsu adalah benda berkilauan yang sama dari alam cahaya. Allah Maha Tahu, faqir, namun ia bukanlah dua benda, walaupun memiliki dua penjelasan. Mereka itu adalah kebeningan dan kekeruhan. Akarnya adalah kebeningan, dan cabangnya adalah kekeruhan. Jika engkau berkata, “Bagaimana bisa begitu?” Faqir, saya berkata bahwa selama jiwa memiliki kebeningannya, kesempurnaannya, kecemerlangannya, keindahannya, kemuliaannya, ketinggiannya, dan derajatnya maka hanyalah ‘ruh’ nama sebenarnya. Jika ia meninggalkan apa yang dimilikinya dari kebeningannya, kesempurnaannya, kecemerlangannya, kemuliaannya, ketinggiannya, dan derajatnya, lalu menjadi keruh karena meninggalkan tanah airnya dan bersandar kepada selain dari apa-apa yang dicintainya, maka menjadi benar jika ia dipanggil sebagai ‘nafsu’. Kita menyebutnya sesuai derajatnya yang rendah – amarah, lawamah, dan nama-nama lain. Kita juga menyebutnya sesuai ketinggian derajatnya. Mereka ada banyak. Dikatakan bahwa ia memiliki sedemikian banyak ketidaksempurnaan sebagaimana Allah memiliki kesempurnaan.
Saudaraku, jika engkau ingin kembali ke tanah air asalmu – dan itu adalah alam yang suci, dan meninggalkan sebuah negeri asing – dan itu adalah alam kekeruhan, maka beramalah! Jika engkau berkata, “Bagaimana aku harus beramal?” Saya berkata, “Lepaskan dirimu dari alam kekeruhan sebagaimana domba dikuliti lepas dari kulitnya. Lupakan itu, dan jangan mengingatinya sama sekali. Maka, jika Allah berkehendak, kecemerlanganmu akan bertambah kuat, yakni makna-makna akan datang kepadamu dengan pasukannya yang dahsyat, kuat dan hebat. Mereka akan membawamu kembali ke tanah airmu. Hanya saja, ujilah ia. Ilmu hakikat terletak pada pengujiannya.”
Tidak ada keraguan bahwa hanya Allah yang tahu hakikat ruh karena ia memiliki rahasia yang tidak terhitung atau bisa dikatakan sebagaimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya, sallallahu alayhi wasalam, ketika orang Yahudi bertanya tentang hakikat ruh kepadanya. Beliau tidak mengetahuinya, atau sebenarnya beliau belum mengetahuinya. Orang Yahudi berkata satu sama lain ketika mereka menanyakan tentang itu kepadanya, “Jika ia menjawab pertanyaan kita, ia bukan seorang Nabi. Jika ia tidak menjawab pertanyaan kita, ia seorang Nabi.” Maka beliau tidak menjawab mereka hingga Allah mengajarkan padanya apa yang harus dijawab kepada mereka. Tidak ada keraguan bahwa ketidakmampuan adalah sifat hamba. Kehambaan itu kemuliaan. Karena itu, Allah memuji Rasul-Nya dengan kedudukan itu ketika Ia berfirman di Kitab-Nya, “Maha Suci Dia yang menjalankan hamba-Nya di sebuah malam.” Allah tidak menyebut, “Nabi-Nya” atau “Rasul-Nya” atau dengan sebutan yang lain. Allah memilih sebutan ‘hamba’ baginya karena kemuliaan adalah penghambaan. Dikatakan bahwa nafsu memiliki sebuah rahasia. Bahwa rahasia itu tidak mewujudkan dirinya sendiri kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya kecuali kepada Fir’aun. Fir’aun berkata, “Akulah Rabbmu yang Maha Tinggi.”
Salam.