Meminta-minta dan jubah bertambalan itu memang bagian dari Tarekat Ahli Sufi, semoga Allah meridai mereka. Hanya saja, kami telah menyaksikan banyak di antara mereka yang berkumpul bersama kami di masa ini yang tidak mengingat Allah Ta’ala ketika mereka mengingati dua urusan ini. Salah seorang dari mereka mengambil wirid dariku dan segera saja kemudian mengenakan jubah bertambalan dengan niat untuk menjalani perilaku meminta-minta. Inilah tujuannya dengan hal tersebut. Sebagai sarana kepada hal tersebut, ia menggunakan wirid yang diambilnya dari diriku, lalu bersegera mengenakan jubah bertambal. Ketika saya melihatnya melakukan itu, saya berkata kepadanya, “Berhentilah memakai jubah bertambalnya dan nama buruk akan menyingkir darimu. Ingatlah pada Rabb-mu. Engkau berada dalam sebuah hal yang bahkan nyala lilin itu mengalihkan perhatianmu. Perkuat kilau cahayamu maka selanjutnya jika engkau mengenakan jubah bertambal dan berkeliling meminta-minta, keduanya tidak akan mencelakakanmu.”
Tidak diragukan bahwa mengemis dan jubah bertambal itu membebani nafsu dan hal mudah baginya. Siapapun yang merasa itu mudah baginya, haruslah meninggalkannya. Siapapun yang merasa itu berat dan membebaninya, harus melakukannya. Dia tidak boleh berjalan ke arah yang mudah baginya karena keikhlasan berada pada yang berat baginya. Dia tidak boleh berjalan menuju arah yang keikhlasannya lebih sedikit daripada arah yang lainnya. Dia harus berjalan menuju arah yang lebih banyak keikhlasannya. Haruslah terus demikian sehingga dia kemudian mencapai bahwa yang berat dan ringan, dan pujian dan celaan itu sama saja baginya. Maka keikhlasan hadir di seluruh arah. Dengan begitu ia pun merdeka. Demi Allah, siapa saja yang merdeka ialah seorang wali.
Saya meneliti mereka yang telah melepaskan seluruh tautannya kecuali mengemis, yang merupakan sarana menunjang hidup terlemah, rupanya karena ia tidak merasakan apa yang telah dirasakan dia yang telah sepenuhnya melepaskan tautan, dan ia tidak pula mencium harumnya. Menjadi jelas bagiku bahwa alasannya karena dia bergantung pada hasrat nafsunya. Itulah yang diperoleh nafsunya. Andai saja dia dibersihkan dari hal tersebut, maka kemilau nafsunya akan melemah dan dia akan merasakan apa yang telah dirasakan para Rijal, semoga Allah meridai mereka. Al-Junayd menulis kepada salah seorang ahlinya, “Jika seseorang mengarahkan kepada Allah sembari dia bergantung kepada selain Allah, Allah akan memberinya ujian dan menabiri zikirnya dari kalbunya dan menjadikan itu hanya di lidahnya saja. Jika ia mendengarkan nasehat dan memutus dirinya dari apa yang digantunginya dan kembali kepada apa yang diisyaratkan padanya, maka segala kesukaran dan musibah akan diangkat darinya, dan begitu selanjutnya.”
Akal kalian tidak mampu menerima bahwa seorang faqir, yang tidak punya apa-apa, itu berada di hadirat Allah. Itu tidak mungkin. Siapapun yang memiliki aspirasi yang tinggi melampaui berbagai makhluk ciptaan akan tiba pada Pencipta makhluk. Mencapai-Nya ialah mencapai ilmu tentang-Nya. Karena itu mulailah berjalan dengan niat teguh dan tinggalkan apapun yang kalian sandari, apapun itu, dan jangan lagi bersandar padanya.
Siapapun yang puas dengan selain-Mu, sepenuhnya lurut.*
Siapapun yang ingin berpaling dari-Mu, tersesat.
Segala sesuatu yang engkau berpisah darinya bisa diganti.
Tak ada pengganti bagi Allah jika engkau memisahkan diri dari-Nya.
Saya tak berhasrat apapun selain ZatMu,
tidak berbagai bentuk perwujudan atau permata apapun yang disambut.
Betapa parak**nya antara dia yang aspirasinya ialah pada bidadari dan istana-istana di Taman dan dia yang aspirasinya kepada terbukanya hijab dan kehadiran malar***, sebagaimana wali Allah Ta’ala, Abu Madyan, semoga Allah meridainya, berkata, “Waspadalah atas niat menimbun sebagai tujuan berjuangmu karena salah satu manfaat dari mengabaikan yang lahir dan yang batin ialah terjadinya istidraj****. Kami hanya peduli pada dia yang malar dan daim***** memuliakan pada keduanya (yang lahir dan yang batin).”
Salam.
Catatan :
*) lu·rut1 v luruh; gugur; rontok
**) pa·rak1 n 1 perpisahaan; 2 beda: kelakuanmu tidak berapa — nya dengan kelakuan ayahmu;
***) ma·lar a terus-menerus (terjadi, ada, dan sebagainya); selalu; tetap tidak berubah;
****) is·tid·raj Ar n hal atau keadaan luar biasa yang diberikan Allah Swt. kepada orang kafir sebagai ujian sehingga mereka takabur dan lupa diri kepada Tuhan, seperti Firaun dan Karun
*****) da·im Ar a tetap selama-lamanya; langgeng; kekal; abadi