Para fuqara di masa lalu, semoga Allah meridai mereka, berniat untuk, atau dapat kita katakan berjuang hanya untuk apa yang bisa membunuh nafsu-nafsu mereka dan menjadikan hati-hati mereka hidup. Kini, kita itu berlawanan dengan mereka. Kita hanya berniat pada apa yang akan membunuh hati-hati kita dan memberi hidup pada nafsu-nafsu kita. Mereka itu hanya berniat untuk meninggalkan syahwatnya dan merendahkan kedudukan nafsunya. Kita ini hanya berniat memenuhi syahwat kita dan meninggikan kedudukan nafsunya. Kita telah menempatkan pintunya di belakang dan temboknya di hadapan kita. Saya tergerak mengatakan ini pada kalian semata karena saya telah menyaksikan berbagai karunia yang Allah berikan kepada dia yang nafsunya wafat dan hatinya hidup. Kita sudah merasa cukup dengan sesuatu yang kurang dari itu, hanya saja, hanya yang jahil merasa puas dengan sesuatu selain ketibaan.

Saya perhatikan dengan sungguh-sungguh untuk melihat apakah ada sesuatu yang lain selain apa yang sudah saya sampaikan perihal syahwat kita dan meninggikan kedudukan nafsu yang mencegah kita menerima karunia-karunia tersebut. Demi Allah, penghalang lain menjadi jelas bagiku. Yaitu kurangnya watak fitrah. Secara umum, makna-makna hanya datang kepada dia yang memiliki watak fitrah besar di hatinya dan suatu ketertarikan amat kuat untuk menyaksikan Zat Rabb-nya hingga makna-makna membuatnya fana dalam Zat dan membuatnya fana atas ilusi keberadaan selain darinya. Ini ialah fitrah Zat terhadap dia yang terus-menerus terikat padanya. Ini hal berbeda dengan dia yang watak fitrahnya ialah untuk memperoleh ilmu atau amal semata. Makna-makna tidak mendatanginya dan ia tidak akan bahagia dengan berbagai makna tersebut karena himma/aspirasinya diarahkan kepada selain Zat Rabb-nya. Allah Ta’ala memberi bagi si hamba sesuai himma-nya. Tidak ada keraguan bahwa setiap insan manusia itu bagian dari makna-makna sebagaimana samudera memiliki gelombangnya, hanya saja yang inderawi telah membuatnya kewalahan dan menawan hati dan jasad mereka. Sedemikian itu keadaannya sehingga mereka tidak terbuka bagi makna-makna karena yang inderawi itu berlawanan dengan makna-makna, dan dua hal bertentangan tidak bisa digabungkan.

Kami berpendapat bahwa ketibaan itu tidak diperoleh melalui banyaknya amal atau sedikitnya amal. Ketibaan diperoleh karena karunia semata sebagaimana wali Allah Ta’ala, Sidi Ibn Ata’allah, semoga Allah rida padanya, berkata dalam kitab Hikam: “Jika engkau berpikir hanya bisa mencapai-Nya setelah fananya sifat-sifat burukmu dan terhapusnya berbagai pengakuanmu, maka engkau tidak akan pernah bisa mencapai-Nya. Namun jika Dia berkehendak membawamu kepada-Nya, Dia akan menabiri sifat-sifatmu dengan sifat-Nya. Jadi engkau mencapai-Nya dengan apa yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dari apa yang engkau berikan pada-Nya.”

Bagian dari limpahan nikmat, kasih sayang, dan terbukanya tangan Allah ialah keberadaan shaykh yang mendidik. Jika bukan karena karunia itu, tidak seorang pun bisa menemukan-Nya atau mencapai-Nya, karena, sebagaimana perkataan wali Allah, Sidi Abu’l-Abbas al-Mursi, “Mengenali sang wali itu lebih sukar daripada mengenal Allah.” Disebutkan dalam Hikam Ibn Ata’allah, “Maha Suci Dia yang memberikan sebuah bukti atas wali-wali-Nya karena itu hanya semata-mata bukti-Nya. Dia hanya membawa seseorang kepada mereka ketika Dia ingin membawanya kepada-Nya.”

Tidak ada keraguan bahwa junjungan ahli langit dan junjungan ahli bumi, junjungan kita, Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, wujud dengan terang-terangan dan jelas, seperti matahari pada menara penunjuk. Walau demikian, tidak setiap orang mengenali Baginda. Hanya beberapa yang mengenali Baginda. Allah menabiri Baginda dari orang-orang lain sebagaimana Dia telah menabiri beberapa orang kepada para Nabi, ‘alayhi salam dan para wali di kalangan manusia di zamannya. Sedemikian rupanya, hingga orang-orang itu menolak dan tidak menerima mereka. Buktinya ada di Kitabullah, “Kamu melihat mereka itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat.” (Surat 7 ayat 198) “Dan mereka berkata: “Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?” (Surat 25 ayat 7) dan masih banyak ayat serupa di Kitabullah. Hampir dua pertiga atau lebih ialah tentang menolak para Rasul, sallallahu wassalam. Salah seorang yang tidak mengenal Baginda, sallallahu ‘alayhi wassalam ialah Abu Jahl, semoga Allah melaknatnya, karena dia hanya melihat Baginda sebagai anak yatimnya Abu Talib.

Demikian itu saat shaykh yang mendidik dijumpai. Terkadang beliau melihat bahwa muridnya akan menemukan zuhud melalui kelaparan sehingga beliau membuat dia kelaparan, dan terkadang beliau melihat bahwa itu berada dalam kekenyangan maka beliau membuatnya kenyang. Terkadang itu terdapat pada banyaknya sarana duniawi dan terkadang pada sedikitnya sarana itu. Terkadang terdapat pada tidur dan terkadang pada tetap bangun. Terkadang pada menjauh dari khalayak ramai dan terkadang pada bergaul dan ramah dengan khalayak, dan sebagainya. Ini karena kecemerlangannya bisa menjadi terlalu kuat baginya sehingga sang mursyid khawatir bahwa itu akan memunahkan dirinya sebagaimana telah terjadi menghancurkan banyak murid, di masa lalu dan masa kini. Karena itu, beliau membawanya keluar dari khalwat agar bersosialisasi dengan orang-orang hingga hal dirinya berkurang dan ia menjadi selamat dari kehancuran. Begitu pula, jika kecemerlangannya meredup, beliau mengembalikannya ke kondisi khalwat hingga itu bisa bertambah kuat, dan sebagainya. “Sesungguhnya kepada Rabb-mu-lah kesudahan (segala sesuatu).” (Surat 53 ayat 42) Pengajarannya praktis sudah tidak mungkin dilakukan karena sedikitnya khalayak yang hatinya berwatak fitrah untuk itu, hanya saja hikmah Allah tidak pernah terputus.

Kami berpendapat bahwa tarekat itu diteguhkan karena daya dan kuasa Allah, karena jalurnya telah ambil dari para shaykh, semoga Allah meridai mereka, yang mengambilnya dari Rasulallah, sallallahu ‘alayhi wassalam, yang mengambilnya dari Sayyidina Jibril, ‘alayhi salam, yang mengambilnya dari Allah Ta’ala. Jika seseorang diutus untuk memimpinnya, itu karena izin Allah dan Rasul-Nya, sallallahu ‘alayhi wassalam, dan para shaykh, semoga Allah meridai mereka. Seperti wali Allah, Sidi al-Mursi, semoga Allah meridainya, berkata, “Tidak ada seorang junjungan pun menempatkan dirinya di hadapan para murid kecuali karena waridat telah tercurah kepadanya dan dia memperoleh izin dari Allah dan Rasul-Nya.” Pendukung urusan kita ini ialah berkah dan sir izin dan itu telah menjaga perihal ahlinya dalam ketertiban. Allah Maha Tahu.

Sekarang, apa yang kami sampaikan perihal tertambatnya hati untuk menyaksikan Zat Rabb kita, maka tidak seorang pun memperolehinya sama sekali hingga setelah fananya nafsu punahnya, hilangnya, kepergiannya, dan padamnya. Sebagaimana wali Allah Ta’ala, Sidi Abu’l-Mawahib at-Tunisi, semoga Allah rida padanya, berkata, “Fana itu punahnya, hilangnya, perginya, dan padamnya nafsu.” Wali Allah, Sidi Abu Madyan, semoga Allah rida padanya, juga berkata, “Siapa pun yang belum maut belum lagi menyaksikan Allah.” Inilah apa yang dikatakan seluruh shaykh tarekat, semoga Allah rida pada mereka. Berhati-hatilah bahwa engkau tidak meyakini bahwa hal-hal yang subtil dan padatlah yang menabiri kita dari Rabb kita. Demi Allah, bukan! Ilusi itu yang menabiri kita dari-Nya. Ilusi itu batil dan tidak bermanfaat seperti dikatakan wali Allah, Sidi Ibn Ata’allah, semoga Allah rida padanya, dalam kitab Hikam: “Bukanlah keberadaan apapun bersama-Nya yang menabirimu dari Allah karena tidak ada selain-Nya. Apa yang menabirimu ialah ilusi bahwa ada sesuatu yang berada bersama-Nya.”

Kami berpendapat dan Allah Maha Tahu bahwa fana bisa diperoleh sesegera mungkin, Insya Allah, melalui suatu cara tertentu menyerukan Ismul Adham, Allah. Saya menemukan cara itu pada sang Shaykh, wali Allah, Sidi Abu’l-Hasan ash-Shadhili, semoga Allah rida padanya, dalam beberapa kitab yang dimiliki seorang fakih dari kalangan saudara kami, Banu Zarwal. Mursyidku, syarif pendidik Abu’l-Hasan Sidi Ali, semoga Allah rida padanya, mengajarku dalam bentuk berbeda yang lebih jelas dan langsung ke tujuan. Yaitu kita berusaha memvisualisasi kelima huruf masing-masing dari Asma itu saat kita mengucapkan, Allah, Allah, Allah. Tiap kali visualisasiku memudar, saya kembali memvisualisasikan huruf-huruf tersebut. Jika saya membuatnya memudar seribu kali di malam hari dan seribu kali di siang hari, saya berusaha mengembalikan ke mereka seribu kali di malam hari dan seribu kali di siang hari.
Cara khusus ini menghasilkan tafakur luar biasa bagiku setelah saya melakukannya sekitar lebih dari sebulan di awal perjalananku. Dengan cara itu saya memperoleh berbagai ilmu dan ketakjuban besar. Saya tidak menyibukkan diri sama sekali dengan perihal itu karena saya sibuk dengan menyeru Asma dan memvisualisasi huruf-hurufnya. Setelah sebulan berlalu, sebuah pernyataan menghadiriku: Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zahir dan yang Batin.” (Surat 57 ayat 3) Saya berpaling dari pernyataan ini sebagaimana biasanya dan menyibukkan diri dengan apa yang sedang kulakukan, namun pernyataan ini tidak juga meninggalkanku. Ia bahkan menegaskan halnya pada diriku dan tidak menerima keberpalinganku darinya sama sekali sebab saya tidak menerima ilmunya dan tidak mau mendengarkannya. Karena tidak mau meninggalkanku, saya berkata padanya, Untuk firman-Nya bahwa Dialah yang Awal dan yang Akhir dan yang Batin, maka saya memahaminya. Sedangkan tentang, yang Lahir, saya tidak memahaminya karena kami hanya menyaksikan makhluk ciptaan mewujud lahiriah. Maka pernyataan itu berkata kepadaku, Jika Dia bermaksud dengan firman-Nya, yang Lahir itu sesuatu selain dari yang lahir yang kita saksikan, maka itu ialah batin dan bukan lahir. Aku berkata padamu, Yang Lahir. Lalu aku menyadari bahwa tidak ada sesuatupun dalam keberadaan selain Allah, dan tidak ada sesuatupun dalam makhluk ciptaan selain-Nya. Alhamdulillah wa shukrulillah!

Fana dalam Zat Rabb kita bisa segera diperoleh, Insya Allah, melalui cara khusus yang telah kami jelaskan karena hal itu menghasilkan tafakur dari pagi hingga malam jika tekadmu kuat. Tafakur saya perolehi darinya setelah sebulan dan beberapa hari, dan Allah Maha Tahu. Tidak ada keraguan jika seseorang memperolehi tafakur bahkan setelah setahun, dua atau tiga tahun maka dia telah memperolehi kebaikan besar dan suatu sir jelas karena dikatakan dalam sebuah tradisi Kenabian, “Satu jam tafakur lebih baik dari tujuh puluh tahun ibadah.” Tidak ada keraguan bahwa hal itu membawa seseorang dari alam keruh kepada alam suci, atau bisa kami katakan, dari hadirat makhluk ke hadirat Sang Pencipta. Allah penjamin apa yang kami katakan.
Kami menyeru semua orang yang kembali dari hal kelalaian kepada hal zikir untuk senantiasa menambatkan hatinya pada penyaksian Zat Rabb-nya sehingga hal itu memberinya makna-makna sebagai fitrahnya bagi dia yang menambatkan hati padanya. Dia tidak boleh puas dengan waridat dari wirid apapun karena itu bisa mencegahnya memperolehi hakikat Idaman-nya.
Salam.