Kutbah Jumat Shaykh Abdalhaqq Bewley, 23 Juni 2000.
Kutbah Pertama
فَأَمَّا مَن طَغَىٰ ٣٧ وَءَاثَرَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٣٨ فَإِنَّ ٱلۡجَحِيمَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٣٩ وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠
“Adapun orang yang melampaui batas; Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia; Maka sesungguhnya Jahanamlah tempat tinggal (nya); Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. ”
(QS. An Nazi’at 79: ayat 37 – 40)
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمۡ يَكُ مُغَيِّرٗا نِّعۡمَةً أَنۡعَمَهَا عَلَىٰ قَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ٥٣
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al Anfal 8: ayat 53)
Ayat kedua diulangi dua kali di Al Qur’an dan biasanya dikutip dalam konteks perbaikan, dengan kata lain: Allah tidak akan menjadikan hal-hal itu baik bagi kita sehingga kita membaikkan diri-diri kita. Namun sesungguhnya, walaupun dapat bermakna seperti itu, makna dari kedua ayat tersebut tampaknya berlawanan: yaitu Allah tidak akan menjadikan hal-hal itu buruk bagi kita kecuali jika kita berubah menjadi buruk pula. Perubahannya bisa terjadi di kedua arah. Hal penting yang harus dipahami dari ayat itu adalah segala sesuatu di kehidupan ini berada dalam keadaan terus menerus berubah dan ini juga berlaku terhadap Muslimin baik sebagai pribadi-pribadi dan masyarakat-masyarakat. Islam adalah suatu yang dinamis, sebuah proses, sebuah pemolaan organis. Ia bukan suatu yang beku, struktur kaku, sebuah tata hukum jumud yang entah bagaimana engkau genggam lalu engkau pas-kan dirimu kepadanya. Amat penting untuk memahami ini jika kita ingin Islam meluas dan berkembang sepenuhnya dan diterapkan lagi di dunia.
Islam sepenuhnya berupa perubahan, tentang berkembang, tentang transformasi di satu sisi, atau, kita berlindung kepada Allah dari terjadinya, yang berlawanan darinya, yaitu statis, mengerut dan kemerosotan. Jika seseorang menjadi seorang Muslim, mereka berubah. Perubahannya dapat dilihat di wajah-wajah mereka. Kehidupan mereka bertransformasi. Yang demikian itu tidak terhindarkan, dan jika itu tidak terjadi, maknanya mereka belum sungguh-sungguh menjadi Muslim, Islam mereka belum terjadi. Transformasinya itu hasil dari terpaparnya kalbu mereka kepada cahaya/nur Muhammad dan yang jika kita bercakap perihal kalbu maka kita tidak sedang berbincang secara kiasan. Terdapat di dalam dada tiap-tiap insan manusia sebuah organ persepsi yang merupakan pusat akses kita kepada alam-alam halus maknawi, daya keberadaan malaikat dan kuasa Ilahi yang saling meresap berkelindan dengan alam penampakan bersifat fisik yang kita tempati ini.
Makna dasar kata Bahasa Arab untuk hati/kalbu, qalb, ialah bolak-balik, berubah, berganti, bertukar, mengubah. Menjadi Muslim membutuhkan penjungkirbalikkan kalbu seseorang, alih-alih menatap ke arah bawah kusamnya gumpalan dunia, ia menghadap ke atas menatap alam-alam lembut hakikat ruhaniah, menghadap pada potensi kesempurnaan dirimu sendiri sebagai seorang insan manusia yang potensi kemungkinan tertingginya adalah nur Muhammad itu sendiri.
Walaupun kita kerap berbicara tentang lahiriah dan batiniah harus dipahami bahwa tidak terdapat garis batas jelas dan tegas antara keduanya; keduanya adalah alam-alam yang saling meresap berkelindan. Karenanya apa yang disebut sebagai transformasi batiniah pasti mewujudkan dirinya sendiri secara lahiriah, karena itu menjadi Muslim melibatkan hidup kita dalam perubahan yang tidak terhindarkan dan tidak dapat diubah kembali. Apa yang terjadi adalah bahwa kita mulai mengikuti bentuk Muhammadiah-nya. Ini berkait dengan ayat di Surat Ali ‘Imran:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ… ٣١
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu…” (QS. Ali ‘Imran 3: ayat 31)
Menjadi Muslim bermakna tertarik kepada semua hal yang dilaksanakan Nabi, salla’llahu ‘alayhi wa sallam, dan diajarkan untuk dilakukan para Sahabatnya. Pertama perilaku amalan dasar din ini dan berangsur-angsur ciri khas akhlak, seperti takwa, kedermawanan, ketabahan, adab dan berbagai kebajikan lainnya, yang kesempurnaannya terdapat pada Rasul Allah, salla’llahu ‘alayhi wa sallam, dan tidak terpisahkan dari ini, yaitu gairah untuk berbagi hadiah tidak ternilai Islam yang telah diberikan kepada kita kepada sebanyak-banyaknya khalayak lain.
Sebuah peringatan bagi sebagian Muslimin yang memperlakukan din-nya sebagai sebuah struktur kaku, sebagai serangkaian amal-amal lahiriah yang mereka bebankan kepada diri-diri mereka dan orang-orang lain tanpa ketundukan dan keridaan batin sesungguhnya. Melakukan hal ini tidak terhindarkan membawa kepada sebuah keterpecahan pada diri mereka yang biasanya berakibat dilakukannya secara berkala berbagai tindakan pemuasan diri paling menjijikkan, dan dalam kasus yang ekstrim berlaku kegilaan. Dan peringatan pula bagi mereka yang berkata bahwa mereka itu sudah Muslim batinnya sembari menolak melaksanakan kewajiban-kewajiban Syariat. Tidak terjadinya perubahan lahiriah mereka menunjukkan bahwa mereka menipudaya diri-diri mereka sendiri di sebuah jalan amat berbahaya dan menempatkan takdir akhir mereka dalam bahaya teramat gawat.
Tidak ada ruang bagi kepuasan diri. Menjadi seorang Muslim bermakna selalu bersedia menjalani sebuah proses transformasi diri yang tidak pernah berakhir. Proses transformasinya tidak berakhir karena kesempurnaan hanyalah milik Allah dan itu sebuah tujuan yang selalu bisa didekati namun tidak akan pernah tergapai, dan kita tidak boleh menyerah mencobanya. Tidak bisa kita mutung lalu berkata pada dirimu sendiri, Sudah cukup. Sejauh inilah aku mampu berjalan. Sudah kulakukan semuanya semampuku. Jika engkau puas atas kondisi status quo-mu maka itu berarti bahwa engkau kehilangan dinmu. Seperti sudah kita katakan bahwa Islam adalah sebuah dinamika; tak akan pernah statis. Jika engkau tidak bergerak maju, engkau sedang bergerak mundur. Jika engkau tidak meluas, engkau menyempit. Engkau sedang mendustakan nikmat terbaik Allah dengan tidak merengkuh seutuhnya. Allah berfirman tentang kondisi itu sebagai berikut:
…سَنَسۡتَدۡرِجُهُم مِّنۡ حَيۡثُ لَا يَعۡلَمُونَ ١٨٢
“…nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”
(QS. Al-A’raf 7: ayat 182)
Kita memohon perlindungan kepada Rabb kita dari yang demikian dan memohon kepada-Nya untuk memberikan keberhasilan kepada kita untuk mendekat pada-Nya dan ikut meneladani Rasul-Nya baik secara batin dan lahirnya serta menegakkan din-Nya dan sunnah Rasul-Nya pada diri kita sendiri dan di sekeliling kita.
(bersambung…)
Pesan “La Ghaliba ila Allah“, Tidak ada Pemenang kecuali Allah, yang terpahat menyeluruh di lingkungan Istana Alhambra di Andalusia.