Dari Mukadimah buku karya ‘Aisha Bewley yang berjudul “Islam: The Empowering of Women” (1999).
Oleh ‘Aisha Bewley
Bertahun-tahun dari umur saya telah diabdikan bagi usaha penerjemahan dan penelitian, saya tidak pernah ingin untuk menulis perihal kedudukan wanita dalam Islam, walau berbagai saran dari banyak orang telah mendorong saya ke arah itu. Bagi saya, lalu dan kini, judul yang lebih tepat ialah kedudukan insan manusia dalam Islam; bagaimana menjadi insan manusia yang hidup paripurna, beribadah kepada Sang Pencipta dan tetap terkait dengan berbagai keajaiban yang terwujud dalam kehidupan; seorang insan yang berusaha mencari ruang untuk menegakkan keadilan sosial dan politik melalui pemenuhan Risalah Allah. Dikotomi abd/rabb: si hamba dan Rabb-nya, lebih penting dan utama daripada dikotomi pria/wanita.
Terlepas dari segalanya, kejahilan dan peningkatan kabar keliru tentang Islam, yang seringnya dilakukan media massa dengan penyebaraan kebohongan-kebohongan, telah mendorong saya untuk meneliti perihal ini. Apakah yang kita peroleh dengan meneliti literatur tertulis moderen perihal topik ini? Di Barat, jika mereka berbicara tentang penindasan kaum wanita dalam Islam mereka menekankan pembahasan tentang ciri-ciri budaya, yang tidak khas Islam, namun mereka menuduh Islam yang harus bertanggungjawab atasnya. Di kalangan Muslimin kita dapati berbagai reaksi bertahannya, hampir seluruhnya ditulis para pria, atas kritikan Barat itu. Beberapa menyatakan bahwa Islam hadir untuk membebaskan kaum wanita dari posisi rendahnya dalam masyarakat penyembah berhala, tapi mereka tidak membahas kondisi dunia moderennya; yang lain menampilkan ibu rumah tangga sebagai sebuah model sahih bagi perkembangan pribadi dan mengatakan bahwa secara psikologis para wanita tidak berada di tingkat yang sama dengan kaum pria (sesuai kesejarahan ini bukanlah wawasan Islami, lebih merupakan wawasan sebuah visi Yahudi-Kristen); begitu juga bahwa kaum wanita tidak boleh dilihat dan/atau didengar (sebuah klaim yang dibenarkan melalui klaim meragukan lainnya yaitu bahwa para pria itu tidak mampu mengendalikan diri karena memiliki hormon testosteron). Kedua penafsiran itu dan yang sepertinya tidak tersambung kepada naskah-naskah yang ditulis di masa awal Islam, yang telah saya terjemah dan pelajari. Kaum wanita di masa tersebut tidak demikian; para Sahabat tidak demikian. Mereka itu orang-orang yang penuh daya hidup dan semangat yang didedikasikan untuk mempraktikkan Islam.
Jika kita menyimak sumber-sumber kesejarahan yang terkait berabad-abad sejarah Islam, kita temukan sejumlah besar wanita yang aktif berpartisipasi di seluruh arena kehidupan; namun selanjutnya secara tiba-tiba hubungan tersebut terhenti. Apa yang terjadi? Bagaimana dan mengapa urusan-urusannya berubah sedemikian besar di tiga abad terakhir, sehingga kaum wanita tidak lagi dijumpai di dunia sains, dan sedikit sekali Muslimin/pria Muslim ingin bersedia diajar kaum wanita, tidak seperti di masa-masa sebelumnya? Ini suatu fenomena yang membutuhkan penelitian mendalam.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, sebagian faktornya asing bagi umat Muslim dan sebagian lagi memang berasal darinya. Di antara faktor tersebut dapat kami soroti sebagai berikut:
- Sebuah pengakuan kembali atas patriarki* pra-Islam.
- Adopsi dan imitasi perilaku-perilaku kaum-kaum yang ditaklukkan (Romawi, Persia, dan Hindu). Misalnya adopsi gynaeceum (bangunan atau bagian sebuah rumah yang diperuntukkan hanya bagi kaum wanita) Romawi, yang kemudian menjadi harem-nya Utmaniyah.
- Infiltrasi ide-ide Barat, termasuk pandangan atas kaum wanita sebagai makhluk yang lebih rendah kedudukannya, yang merupakan pandangan orang-orang Barat hingga akhir-akhir ini.
- Sebuah kebijakan penindasan atas para wanita (dan pada umumnya kepada seluruh Muslimin) yang dilancarkan melalui kolonialisme.
- Warisan kolonialis yang menganggap Islam barbar sembari memandang tradisi-tradisi Eropa dan Barat beradab. Elit penguasa yang mewarisi kekuasaan kolonial (dan terjerat seluruh hutangnya) memperkuat pandangan ini.
- Rasa iri dan benci akibat rasa rendah diri tertentu dari Muslimin: pertama-tama karena tidak mampu menghindari didefinisikan di bawah tolok ukur dikotomi barbar/beradab, dan kedua karena berusaha mempertahankan diri mereka atas pandangan dikotomi itu, sehingga memunculkan sebuah realitas yang tidak pernah ada di masa awalnya.
Sindrom tersebut membutuhkan satu penelitian lebih cermat.
(Bersambung…)
Catatan :
*) pat·ri·ar·kat n sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak: seorang anak harus menyandang nama ayahnya karena sistem keluarga dan pewarisannya adalah sistem —