Hanya saja juga penting untuk menyampaikan satu unsur lain. Hari ini, di berbagai kasusnya, cara pikir Muslim moderen itu serupa dengan cara pikir moderen Barat yang berbalut pakaian Islami. Pendidikan Barat itu lazim di seluruh penjuru dunia. Karenanya penelitian tema ini membutuhkan sebuah ikhtiar, sebuah perubahan radikal yang membawa kita keluar dari cara pikir otomatis sehari-hari kita. Kita harus betul-betul memperhatikan apa yang kita kerjakan.

Kalangan khalayak yang terdidik dalam sistem pendidikan Barat moderen membangun sebuah cara pikir terstruktur dengan tiga ciri utama:

  1. Kita berpikir dalam berbagai struktur. Kita membangun sebuah gambaran dari berbagai hal melalui format bentuk jumud, berbagai metodologi, kategori, dan sebagainya.
  2. Cara pikir kita itu dialektis, dengan cara: tesis-antitesis-sintesis. Cara dinamis ini memunculkan sebuah sensasi gerakan palsu, kecepatan yang terbentuk hanya secepat larinya seekor tikus di atas jentera*. Sehingga jika kita utarakan: ‘pemikiran Barat’, maka kita akhirnya memunculkan antitesisnya: ‘pemikiran Islami’, padahal pemikiran Islami ini hanyalah sekedar sebuah cermin dan reaksi terhadap pemikiran Baratnya, maka hasil yang kita peroleh: sebuah Islam versi modernis.
  3. Mitos tentang objektivitas atau tepatnya, metode sains. Metode ini melibatkan suatu pengalaman insan manusia yang ‘menatap keluar’ dan menganalisa orang lain atau objeknya, yang dapat diperiksa, dibagi-bagi hingga menjadi berbagai potongan/keping-keping, lalu diukur dan didefinsikan secara objektif. Ini bagian dari strukturalisme. Hanya saja, sebagaimana telah ditunjukkan oleh pengetahuan fisika moderen, si pengamat berpengaruh terhadap apa yang diamatinya, ia tidak terpisah dari apa yang diamatinya.

Jadi dunia moderen menetapkan dan mengkode berbagai hal dan berusaha menjadikannya objektif dan absolut. Ciri-ciri ini ikut bermain ketika kita berpikir. Padahal realitasnya lebih fleksibel. Islam amat fleksibel. Tidak ada bentuk ketat, sempit yang setiap orang harus masuk dan sesuai dengannya. Islam ialah sebuah pola contoh teladan yang memiliki bidang aplikasi amat luas. Para Sahabatku seperti bintang. Salah satu dari mereka akan memandumu jika engkau mengikutinya”, arti sabda Nabi. Mereka semua memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Para istri Nabi pun berbeda satu dengan yang lainnya: dari Khadijah, sang pengusaha wanita, kepada Aishah, seorang alimah, penuh semangat siap memimpin pasukan dan Umm Salamah, teladan kecerdasan penuh akal yang tenang. Sedemikian pula putri Baginda, Fatimah, yang merasa keridaan tenang mengurus rumah tangga. Mereka semua gemilang, amat luar biasa. Tidak seorang pun dari mereka yang berkata, “Kalian harus berpenampilan seperti saya supaya pantas”, atau, “Jika kalian tidak berpakaian seperti kami, kalian bermasalah.”

Orang-orang harus berhenti dari memberi perhatian obsesif kepada wanita, atau yang lebih disukai ialah dia harus kembali kepada apa yang dibawa Nabi; karena momentum Islam itu sedang disisihkan, sembari direduksi menjadi sesuatu yang sepele seperti pembagian tugas-tugas rumah tangga. Dahulu di kalangan suku bangsa Turki sudah umum dan biasa bagi kaum wanita bertindak sebagai wali ketika para suami mereka absen (tugas itu adalah sebuah kepanjangan alami atas pengawasan rumah tangganya). Dengan cara ini, melalui pemberdayaan sang wanita, si pria diberdayakan untuk bisa pergi (dari keluarganya) dan mengurus perbaikan masyarakatnya. Sedangkan sang wanita, yang telah diberdayakan dan terajar, akan meneruskan hal ini kepada keturunannya dan mereka jika waktunya tiba, telah diberdayakan dan siap untuk terlibat dan memperbaiki urusan masyarakatnya. Pada mereka itulah masyarakat-masyarakat yang memiliki dinamisme, energi dan vitalitas. Alternatif lawannya ialah wanita-wanita penuh kepedihan atau neurotik** yang terpenjara di rumah-rumahnya, yang habis-habisan bersusah payah mencoba mengendalikan keluarga mereka sembari melampiaskan rasa frustasinya kepada mereka – dimana para pria (suami) yang hidup bersama mereka, diperbudak dalam ikatan penuh emosi yang melemahkan pasangan tersebut. Dalam situasi seperti ini, ikhtiar perbaikan masyarakat hanyut.

Salah satu simptom*** dari situasi ini adalah perhatian BERLEBIHAN, khususnya oleh para pria, dalam hal cara berpakaian kaum wanitanya. Seakan-akan pakaian wanita itu telah menjadi lambang identitas Islami. Kepribadian seorang Muslim tidak didefinisikan oleh selembar pakaian, yang tidak berarti bahwa itu tidak diperlukan sama sekali. Tidak ada keraguan bahwa kaum wanita perlu berpakaian bersahaja, sebagaimana diisyaratkan Nabi. Namun hal ini bukanlah satu-satunya arena amalan Muslimin, terdapat hal-hal lain yang lebih penting untuk kita curahkan daya usaha kita. Nabi sallallahu alayhi wassalam bersabda lebih banyak perihal pakaian kaum pria daripada pakaian kaum wanita. Perhatian terus menerus dan restan**** yang dipersembahkan atas pakaian kaum wanita telah mengalihkan perhatian Muslimin dari urusan-urusan yang lebih mendesak, seperti riba, keadilan sosial, dan pelaksanaan kewajiban Islam.

Kewajiban dasar setiap wanita dan pria menjadi seorang insan manusia yang bebas, mampu untuk memenuhi peran tujuan penciptaannya: beribadah kepada Sang Maha Pencipta sebagaimana telah diajarkan oleh Rasul-Nya, sallallahu alayhi wassalam, kepada kita. Kewajiban ini, kini, tidak lagi ada di mana pun, dan yang lebih menggelisahkan adalah kurangnya perhatian yang diberikan bagi hal penting ini, dibandingkan perhatian terus menerus kepada hal-hal sepele perihal pakaian wanita dan peran mereka di rumah. Khalayak awam tidak lagi mengerti bahwa pria dan/atau wanita tidak lagi berdaya di masyarakat moderen. Alexis de Tocqueville (1805-1859, filsuf politik dan sejarah asal Prancis, dikenal karena karyanya Demokrasi di Amerika) telah meramalkan situasi tragis ini ketika ia menulis dalam “Democracy in America” (halaman 580): “Keinginan manusianya tidak dihapuskan, melainkan dilunakkan, ditekuk dan diarahkan: ia jarang dipaksa bertindak karenanya, namun ia terus menerus dicegah dari bertindak: kuasa begitu tidak menghancurkan, hanya saja ia mencegah kehidupan. Ia tidak berlaku lalim, namun ia memampatkan, melemahkan, memadamkan dan membuat orang tertegun, hingga setiap bangsa direduksi tidak lebih menjadi sekawanan hewan penakut dan tekun, dimana gembalanya adalah pemerintahnya.”

Situasi kondisi ini dihadapi baik oleh Muslimin dan non-muslim. Kebanyakan Muslimin telah mengadopsi cara pikir Barat, khususnya pandangan individualisme liberal, yang di satu sisi menjelaskan, mengapa demikian besar perhatian diberikan kepada urusan-urusan domestik dari pada perkara sosialnya. Hari ini kita sering jumpai istilah Islami digabungkan dengan berbagai konsep Barat: demokrasi Islami, kapitalisme Islami, ekonomi Islami

Perilaku apapun yang dijalankan dalam sebuah kerangka sosialnya membutuhkan sebuah persepsi umum tentang konsep yang terkandung dalam perilakunya. Kita tidak mampu bertindak sebagai insan manusia hingga kita mengerti apa yang sedang kita lakukan dan mengapa kita melakukannya, bahkan walau tidak sepenuhnya disadari. Karena itulah kita harus melihat dengan hati-hati berbagai posisi yang ada. Tradisi sejati, jelas, dan transformatif Islam sebagai sebuah cetak biru bagi kehidupan yang relevan sepanjang masa – sebagai satu-satunya solusi radikal di jaman moderen ini – bisa dikatakan praktis telah hilang. Karenanya tugas bagi Muslimin hari ini ialah menemukan dan menjalankan cetak birunya kembali, dengan melibatkan berbagai amal di seluruh masyarakatnya. Untuk bisa melakukan ini, menjadi penting untuk menyisihkan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah disisipkan Barat ke dalam pemikiran Muslimin. Sebagaimana Ibn Ataillah berkata:
“Tidak ada yang membuaimu seperti angan-angan. Engkau bebas jika engkau kehilangan harapan padanya. Engkau menjadi budaknya jika engkau menginginkannya.”

Sudah waktunya memeriksa kembali dan menilai kembali bagaimana Muslimah di masa lalu berlaku, agar kita bisa menghindari wawasan mengungkung yang sudah jadi norma ini. Untuk tujuan ini kita akan menyimak belajar tiga perspektif: sang Wanita Alim, sang Wanita Politis, dan sang Wanita Ruhani.

Sumber: http://islammexico.org.mx/Textos/Islam_el_poder_mujer/ABewley1.htm

Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Muqadim Malik Abdalhaqq Hermanadi

 


Catatan :

*) jen·te·ra n 1 barang yang bundar berupa lingkaran, bersumbu, dan dpt berputar (untuk memutar benda yang lain, menaikkan air, dan sebagainya); roda; 2 roda-roda yang dijalankan dengan per, tali, dan sebagainya untuk menggerakkan sesuatu (seperti perkakas arloji); pesawat; mesin; 3 roda pemintal benang (kincir);

**) neu·ro·tik /néurotik/ a Dok ada gangguan pada urat saraf; dalam keadaan sakit saraf

***) sim·tom n Dok perubahan atau keadaan khusus kondisi tubuh yang menunjukkan tanda adanya suatu penyakit; gejala penyakit: panas badan yang makin tinggi disertai dengan muntah-muntah dapat merupakan — tifus

****) res·tan /réstan/ n cak sisa; kelebihan