(Lanjutan…)
Kalian akan melihat bahwa para shuyukh semuanya bersafar. Mereka bersafar ke sana dan mereka bersafar ke sini. Mereka lasak karena urusan ini tidak pernah berakhir bagi mereka. Mereka menyeru manusia kepada Allah dan mereka membimbing manusia kepada Allah dan mereka berbicara yang benar tentang Allah, di sebuah zaman dimana orang-orang tidak menyebut-Nya sama sekali, karena tidak mengenal-Nya, atau berbicara sembrono tentang-Nya. Maka himma ini menjadi dimensi kehidupan yang makin lama menjadi semakin kuat pada diri sang Sufi. Bukti dari himma itu serupa bukti yang bisa kalian lihat antara orang-orang yang sekedar minum, dan khalayak yang menjadi peminum kronis di dunia. Sekali saja mereka merasakan araknya, mereka akan pergi ke tempat di mana para ahli penyuka arak berada. Mereka pergi menuju kedainya, mereka ingin bersama dengan para peminum lainnya, karena perihal ini begitu spesialnya sebab jika kalian tidak melakukannya, mereka tidak akan berkata apapun padamu. Inilah mengapa permisalan berupa ‘kedai dan arak’ nya digunakan, karena khalayak pencinta Allah ingin berkumpul bersama para pencinta Allah.
Jika pada suatu waktu muncul bukti dari makna Haji, yaitu makna bahwa di penghujung hari, tiap-tiap semua yang ber-Haji menjadi seorang pencinta Allah, subhanahu wa ta’ala, maka semua orang adalah ahli Sufi ketika ber-Haji. Labbayk labbayk, Allahumma labbayk, itulah himma, kalian berteriak di jalan-jalan bersama jutaan orang yang berteriak Labbayk! Apakah makna itu selain bahwa sesuatu pada dirimu telah terbangun? Kalian berada di satu tempat bersama jutaan orang, dan Ka’bah-nya. Pertama kali kalian menatapnya, ia serupa kotak kecil, tatapan berikutnya kalian melihat sebuah gunung. Sekali waktu kalian melihatnya, sebagai sesuatu yang padat, pada kesempatan lain terlihat seperti tirai berkibar tertiup angin. Kalian tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kalian tidak bisa mendekat ke Hajar Aswad, lalu tiba-tiba engkau berada di hadapannya lalu engkau menciuminya, kalian tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, lalu kalian berlalu lagi. Maka semua orang adalah seorang pencinta Allah, subhanahu wa ta’ala. Haji menyibakkan bagi kalian hal ini, hanya saja hal ini adalah keadaan kehidupannya orang-orang yang mencintai Allah, subhanahu wa ta’ala.
Dan ia akan mendapatkan makrifat melampaui apa yang dihasratinya
dan segera menginsafi rahasia-rahasia kehidupan.
Apakah rahasia-rahasia kehidupan? Bagi semua orang, di mana-mana, kehidupan itu sebuah rahasia. Mereka tidak bisa memahaminya dan mereka berkata, “Ya, kalau saya memahaminya maka saya akan tahu nomor-nomor loterenya. Jika saya tahu itu maka saya tahu bagaimana caranya menjadi kaya.” Mereka melihat bahwa makna rahasia kehidupan itu seakan-akan ialah untuk menjadikan kehidupan mereka gampang baginya padahal rahasia-rahasia kehidupan ialah ilmu-ilmu tentang Kekuasaan Allah, subhanahu wa ta’ala, dan pemahaman bahwa Allah, subhanahu wa ta’ala yang mengatur segala sesuatu. Sehingga yang terjadi ialah apa yang dikehendaki Allah terjadi. Rahasia-rahasia kehidupan itu menampakkan padamu, bahwa Dia-lah Pelakunya, Dia-lah Aktornya pada segala situasi. Ini bermakna bahwa jika kalian bertindak maka kalian bertindak karena-Nya, bukan karenamu.
Allah, subhanahu wa ta’ala, berfirman dalam Hadith Qudsi, “Hamba-Ku mendekati-Ku melalui amalan nawafil.” Apakah amalan nawafil itu? Amal-amal yang nafila, ialah amal-amal yang tidak dibutuhkan. Mereka itu ekstra. Awalnya fard – fardu, lalu tibalah sunnah – sunah, lalu kemudian hal-hal ekstra ini seperti shalat Dhuha yang seperti sebuah shalat rahasia. Ini dilakukan bukan bersama orang lain, ini engkau lakukan sendirian di suatu waktu khusus sebelum tengah hari. Ini serupa shalat malam hanya bagi Allah, subhanahu wa ta’ala. Para Sufi berkata bahwa pagi hari adalah waktu bagi si hamba untuk melayani Junjungan-nya, itulah shalat lima waktu sehari. Malam hari adalah bagi sang kekasih dengan Kekasihnya, dan itulah shalat malam, karena sesuatu yang lain berlangsung di malam hari. Imam Junayd, Imam Besar para Sufi, ditanya, “Apa yang engkau peroleh dari perjalananmu selama bertahun-tahun ini?” Beliau menjawab, “Saya rasa, saya memperoleh dua rakaat di bawah tangga.” Hadrat al-Rabbani, hadirat Rabani.
Ia akan melihat bahwa separasi ialah Syari’at suci,
yang, dikatakan sebenarnya, itulah sumber dari Haqiqa.
Inilah keseluruhannya. Shari’a – Syari’at itu didasarkan pada separasi (pemisahan, Peny.). Ini di sini, itu di situ, saya di sini, kalian di sana. Terpisah dalam sebuah dunia keterpisahan. Karenanya jika saya mencuri, saya diganjar hukuman. Jika saya membunuh, saya dihukum dibunuh karena separasi memunculkan pembedaan dan dunia ini didasarkan pada pembedaan-pembedaan. Jika kalian melakukan itu, itulah ganjaran hukumnya. Jika kalian melakukan ini, maka inilah ganjaran balasannya. Jika warisannya sedemikian, maka Qadi-nya berkata, “Tidak, waris ini bukan untukmu, ini untuk kedua saudari-mu.” Dan selanjutnya dan seterusnya, inilah separasi. Ini dunia bisnisnya, ini dunia urusan-urusan, inilah dunia kabar berita di televisi. Hanya saja kabar berita di televisi itu sendiri, kejadian-kejadian tersebut haruslah dilihat dari suatu kedudukan Syari’at karena hal ini juga harus dipahami bahwa Syari’at itu adalah sumber Haqiqa – Hakikat Allah subhanahu wa ta’ala. Apakah maknanya ini?
Shaykh Muhammad ibn al-Habib berkata dalam kasidahnya “Kebaikan-kebaikan dari Ism al-‘Adhim” :
Mencintai dengan cintanya Allah dan membenci dengan kebencian-Nya.
Inilah Syari’at-nya, karenanya sadarilah itu, sahabatku!
Seseorang berkata kepada saya, “Kamu anti-yahudi.” Saya jawab, “Tidak, saya tidak anti-yahudi. Allah membenci yahudi, saya mencintai apa yang dicintai Allah, saya membenci apa yang dibenci-Nya.” Saya tidak akan menggas mereka atau membunuh mereka tetapi kalian tidak bisa membuat saya mencintai mereka, sebab Allah membenci mereka. Laknat Allah ada pada yahudi. Jadi kalian tidak bisa membuat saya mencintai mereka karena saya seorang muslim. Kalian bisa melakukan apa saja kepada mereka, namun mereka tidak akan pernah dicintai oleh khalayak mereka yang mencintai Allah, subhanahu wa ta’ala.
Haqiqa itu adalah bahwa di setiap situasi, kalian menginginkan apa yang diinginkan Allah. Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim, bersabda, “Allah menginginkan sesuatu dan kalian menginginkan sesuatu. Apa yang kalian inginkan bukanlah apa yang Allah inginkan, dan kalian harus tahu bahwa apa yang Allah inginkan pasti terjadi.” Pada titik ketika kalian mengatakan itu, itulah makrifat. Kemudian kalian menginginkannya. Salah seorang Sufi besar menyebutnya sebagai melepaskan manajemen/pengaturan semua urusan-urusannya. Beliau tidak bermaksud bahwa kalian harus berlaku seperti seorang hindu, yang sambil duduk berkata bahwa kenyataannya itu seluruhnya palsu, ilusi, maka saya akan duduk di sini dan meminta-minta. Bukan begitu, karena separasi itu adalah Syari’at yang bersih.
Apakah Syari’at yang bersih itu? Rasul, salla’llahu alayhi wa sallim bersabda kepada seseorang, “Jangan meminta-minta, tunggu sebentar.” Baginda meminta seseorang meminjaminya sejumlah uang. Nabi, salla’llahu alayhi wa sallim, meminjam uangnya dan berkata, “Juallah kepadaku sebuah sapu.” Mereka menjual kepada Baginda sebuah sapu. Lalu Baginda bersabda, “Nah ini, orang-orang itu membutuhkan halaman rumah mereka disapu dan mereka akan membayarmu. Dari uang tersebut sebagian bisa engkau kembalikan kepada saya untuk pembelian sapu ini, saya akan mengembalikan kepada yang memberi pinjaman kepada saya, dan engkau dipekerjakan.” Itulah Syari’at. Perhatikan, ini demikian adanya karena Allah, subhanahu wa ta’ala, menginginkan orang-orang untuk beramal. Dengan beramal, dikenali bahwa apa yang datang, berasal dari Allah, subhanahu wa ta’ala.
Ketika Sayyidah Maryam, yang dicintai Allah, subhanahu wa ta’ala, berada di bawah sebatang pohon kurma, Allah memerintahkan padanya sebuah perintah. Allah berfirman, “Goyangkanlah kurma, maka kurma akan jatuh.” (Surat Maryam ayat 25). Dan juga ada air yang mengalir di bawahnya yang bisa diminumnya. Kami kenal seorang majdhub – majedub yang amat diberkahi, yang demikian mabuk dengan cinta kepada Allah, subhanahu wa ta’ala, Moulay Hasan, rahimahu’llah. Setiap hari beliau duduk di rumahnya dan merajut dua peci penutup kepala. Jika beliau selesai mengerjakannya, beliau akan keluar rumah dan duduk di masjid dan menjual kedua peci itu. Lalu sesudah itu beliau kembali ke rumah dan berkata, “Saya baru saja menggoyangkan pohon kurmanya.” Beliau memperoleh beberapa dirham karena orang-orang mengenalinya dan membeli pecinya. Beliau akan memberi makan empat puluh orang di mejanya tiap-tiap hari. Atas hasil penjualan dua peci itu, beliau menjamu orang-orang itu dan menyajikan literan teh, seluruhnya dari ‘menggoyangkan pohon kurmanya.’ Ini adalah sebuah pemahaman bagaimana untuk berlaku harmonis dalam Syari’atnya dan sekaligus memahami Hakikatnya.
Inilah mengapa pada Al Qur’an ada berbagai perintah agar insan manusia tafakur
dan menghadirkan sebuah Tauhid yang menghapus setiap keraguan. Sebuah Tauhid yang menghilangkan keraguan ialah sebuah ilmu perihal kesatuan Allah, subhanahu wa ta’ala, pada perintah-perintah-Nya atas segala sesuatu, setiap atom, setiap daun yang gugur. Segala sesuatu berada dalam ilmunya Allah, subhanahu wa ta’ala, dari awal waktu, sejak penciptaan waktu itu sendiri, hingga dunia ini sampai di akhir waktu dan digulungnya tikar kehidupan ini. Inilah Tauhid yang tidak mengandung keraguan padanya. Si skeptis itu ialah dia yang meragukan, bukan atas kehidupan ini, tetapi dirinya sendiri. Jadi jika ada seseorang yang bersikap skeptis padamu, kalian harus menolak apa yang diberikannya kepadamu, karena apa yang mereka tunjuk itu bukanlah apa yang mereka ragukan, sebab sebenarnya mereka itu tidak yakin pada dirinya sendiri. Mereka memiliki lawannya ilmu, mereka itu jahil. Menurut para Sufi, dunia ini berada di hadapanmu seperti sebuah cermin. Mawlay Abdalqadir al-Jaylani berkata, “Dunia ini berada di hadapanmu seperti sebuah cermin dan saya tidak mengatakan bahwa ini sebagai suatu permisalan.” Di hadapanmu seperti cermin, sehingga jika kalian melihat pada dunia, ia memantulkan kembali padamu, dirimu. Si skeptis berkata, “Saya tidak yakin tentang itu.” Ia tidak yakin karena ia tidak yakin pada rahmat Allah, subhanahu wa ta’ala. Orang yang skeptis hanya bisa membimbing kepada kegelapan. Muslim itu tidak pernah skeptis, karena keraguan ini hanya ada pada suatu ilmu yang tidak lengkap, sedangkan ilmu Tauhid yang lengkap itu ialah bahwa dia yang tiba di titik pengetahuan ini mengetahui bahwa dia yang berada di pusatnya itu tidak wujud. Bahwa yang wujud hanya Allah, subhanahu wa ta’ala.
Ketika Abu Yazid al-Bustami, radiya’llahu anhu, berada dalam khalwa – pengasingan diri nya di dalam gua, lalu dia mendengar suara berkata, “Siapa yang ada di dalam?” Beliau menjawab, “Abu Yazid.” Suara itu berkata lagi, “Maka Aku tidak bisa masuk sebab dimana Aku hadir tidak mungkin ada dua.” Kemudian beliau pingsan. Nah itulah sebuah Tauhid, karena diri yang mendasari separasi dan kewajiban menaati Syari’at Allah, subhanahu wa ta’ala, pada dirinya sendiri memiliki suatu hakikat sejati. Itulah sebuah hakikat dari kekuasaan Allah, merupakan rahasia-rahasia kekuasaan Allah, yang telah menetapkan dunia dan memberi kita suatu Syari’at, yang biasa disebut ‘ulama sebagai, “Kapal Sunah.” Kapal Sunah maknanya ialah dengan mengikuti Sunah kalian dapat berlayar di kapalnya melalui segala cadas bebatuan kontradiksi kehidupan yang ada beserta peristiwa-peristiwanya, dengan selamat tanpa harus hancur terhempas di bebatuan tersebut.
Karena itulah segala sesuatu yang terjadi di Afghanistan adalah sebuah demonstrasi bahwa khalayaknya tidak diajari Islam, karena mereka dibimbing menuju sebuah bencana, dan karena tidak ada bencana bagi muslimin, yang ada hanya kemenangan. Jika kalian menaati Allah, subhanahu wa taala, kalian pasti menang. Perang Badar adalah bukti dari keagungan Allah di atas kekuatan kuffar. Tentu saja kemudian setelahnya tidak lagi dibolehkan bertempur jika kalian kalah jumlah lebih dari dua banding satu. Karena itu, kalian tidak akan masuk ke dalam bencana dan bunuh diri dan perilaku jahil lainnya karena itu dilakukan tanpa ketakwaan kepada Allah. Hasilnya adalah kekacauan dan itu tidak mencerminkan Islam, tidak mencerminkan perilaku muslimin karena hakikat Islamnya tidak ada di situ. Islam itu berada bersama orang-orang yang menaati Allah, mencintai Allah, dan yang mewujudkan sebuah kehidupan yang merupakan kehidupan yang lebih baik daripada apa yang mungkin dibangun kuffar.
Terjadinya syahid bukanlah tujuan sebuah Jihad. Tujuan Jihad adalah kemenangan. Hadiah Allah, subhanahu wa ta’ala, pada mereka yang bertempur adalah bahwa mereka yang bertempur fi sabilillah dan terbunuh akan dibangkitkan sebagai syahid, namun itu didasarkan pada kemenangan. ‘Umar ibn al-Khattab, radiya’llahu anhu, berkata, “Kapankah kalian mengalahkan musuhmu?” Mereka menjawab, “Di sore hari.” Beliau bertanya lagi, “Kapan kalian mulai bertempur?” Mereka menjawab, “Saat Dhuhur.” Beliau berkata, “Jadi maksudmu musuhnya mampu bertahan menghadapi muslimin dari Dhuhur hingga Ashr? Kalian sudah membuat sebuah bid’ah dalam deen ini!” Inilah Deen Islam. Jika kalian menaati Allah, kalian akan sukses. Jika kalian menaiki Kapal Sunah, kalian aman, kalian tidak akan keliru.
(Bersambung…)