Daras Persaudaraan, oleh Shaykh Abdalqadir as-Sufi disampaikan saat Moussem pada tahun 1991.
A’udhu billahi min-ash-shaytan ir-rajim
Bismillah ir-Rahman ir-Rahim
Saya ingin menyampaikan beberapa kata perihal persaudaraan. Sekarang ini Muslimin, dimana pun mereka bertemu, berkata, Kita harus bersatu. Di kalangan modernis sesuatu telah diperkenalkan dan mereka berkata satu sama lain, Wahai saudara! Ya akhi! Perkataan ini terdengar benar walaupun tidak benar. Kenapa? Karena itu bukan Sunah. Sunah Rasul, sallallahu alayhi wa sallam itu sungguh-sungguh amat sangat baik dalam perkara ini. Baginda mempergunakan dua cara menyapa: yaitu untuk memuliakan orang atau karena Baginda menghormatinya maka Baginda akan menyapa mereka secara resmi dengan menyebut nama keluarga mereka, selanjutnya adalah jika Baginda menyayangi orangnya, Baginda akan menggunakan kebiasaan orang Arab dengan memanggil mereka dengan nama putra mereka. Jadi Baginda memiliki dua tataran: satu dekat, satu lagi jauh. Yang pertama adalah jika Baginda menghormati seseorang atau Baginda ingin memberi mereka kehormatan diri, Baginda memuliakan mereka dan memanggil mereka sesuai nama resmi mereka, nama ayah mereka Ibnu fulan dan fulan, dan kepada mereka yang dekat kepada Baginda Ayah fulan dan fulan. Pada keduanya itu Baginda mengenali apa yang ada pada mereka dari maqam yang mereka miliki. Segala sesuatu yang Sunah itu mengandung hikmah.
Tentu saja, kita tahu bahwa kita bersaudara dari pengajaran Al Quran dan dari Sunah, hanya saja penggunaan kata akhi di antara Muslimin itu untuk suatu waktu yang khusus, dan jika digunakan biasanya dalam bentuk jamaknya menyapa sekelompok orang. Ketika orang-orang moderen ini berkata, Akhi, maka apa yang sesungguhnya diucapkan adalah, Kita semua ini sama. Itulah demokrasi dan mereka pada akhirnya melakukannya terhadap Rasul, sallallahu alayhi wa sallam, astaghfirullah. Mereka pada akhirnya berkata: Dia itu hanya pemimpin negara, hanya seorang jendral. Mereka merendahkan Baginda, dan ini bertentangan dengan firman Allah, subhanahu wa taala: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak mulia khuluqil-adhim“ (Surat Al Qalam, 68 ayat 4). Itu berlawanan. Kami katakan bahwa kurangnya adab kepada Rasul sallallahu alayhi wa sallam membawa kepada salah adab diantara Muslimin. Kalian tidak menjadi bersaudara dengan mengatakan, Akhi. Kalian tidak menjadi bersatu dengan mengatakan, “Kita harus bersatu.” Kalian menjadi bersaudara melalui penghormatan dan penerimaan satu sama lain, karena sebuah keluarga itu terus selamat karena mereka menerima satu sama lain, dan mereka memaafkan satu sama lain. Apa yang menyambungkan Muslimin adalah lebih tinggi dari apa yang menyambungkan keluarga. Toleransi dan pemaafan di antara mereka itu lebih tinggi derajatnya. Pecahnya Muslimin menjadi tujuh puluh tiga sekte itu sesungguhnya karena kurangnya penghormatan dan kurangnya penerimaan. Akar penyakit ketidakpuasan dengan kelompok lain adalah bahwa di jantung hatinya mereka berkata, “Saya benar, dan saya hanya suka orang-orang yang mengatakan apa yang saya katakan.” Namun Deen Islam tidak didasarkan pada katanya atau kata dia, Deen ini adalah transaksi pribadimu dengan Allah, dengan Maliki Yawmid-Deen. Kalian harus membayar sendiri tagihannya kepada Allah. Di Yawmid-Deen itu bukan tempatnya mengatakan mana ideologi Islami yang benar, di hari itu kalian harus mempertanggungjawabkan dirimu kepada Allah.
Kumpulan sosial terbesarnya Muslimin adalah Haji. Seluruh aturan Haji adalah aturan pribadi kalian harus melaksanakannya sendiri. Inti sari kenyataan Islam adalah sebuah pertanggungjawaban pribadi. Yaitu insan yang berdiri di hadapan Allah itulah yang menjadi jantung hati perkaranya. Pesan yang Allah kirim melalui Rasul, sallallahu alayhi wa sallam, adalah agar seorang insan menerimanya, karena ketika ia menerima kabar-kabar dalam surat-surat Makkiyah, Allah berfirman kepada diri pribadi. Ketika ia tiba di surat-surat Madaniyah, Allah berfirman kepada kelompoknya, sehingga apa yang terjadi pada kelompok didasarkan pada apa yang terjadi pada pribadi insannya. Kita semua tahu kisah mengagumkan bagaimana Sayyiduna Umar, radiyallahu anhu, menjadi Muslim. Jika tidak pernah terjadi gempa sedemikian rupa pada diri Umar ibn al-Khattab tidak akan pernah tampak di peta betapa luasnya penyebaran kekuasaan Muslimin! Hakikat-hakikat ada di dalam hati orang-orang karena amal berawal dari niyyat dan niyyat itu di hati. Rasul, sallallahu alayhi wasallam, bersabda, Ada segumpal daging dalam tubuh manusia dan jika kalian bisa menjaminnya, orang tersebut akan aman dari Allah. Hati itu mata air darimana amal berasal karena Allah sudah mengisyaratkan bahwa Taman itu bagi mereka yang memiliki itu. Seseorang tidak bisa membuat sebuah gerakan Islami karena itu seakan memulai dari luar dan tidak dari dalamnya. Orangnya-lah yang harus berkata, Ini tugas saya.
(Bersambung…)