Semua orang membicarakan tentang peningkatan standar kehidupan, hanya saja kini kita punya bukti di Eropa dan Amerika bahwa semakin tinggi standar kehidupan materialnya, semakin turun standar kemanusiaannya. Segala sesuatu berada di bawah hukum Allah, dan Allah menata segala sesuatu secara berlawanan. Jika engkau mengalami peningkatan lahiriahnya, engkau mengalami penurunan batiniahnya. Sehingga anak-anak muda di Eropa yang telah diberikan segala yang material dan telah diberikan kebebasan perilaku menyeluruh, kini berlaku binal dan menghancurkan segala benda yang telah diberikan kepada mereka, seperti bayi-bayi yang tidak waras. Anak-anak muda Amerika yang bapak-bapaknya liberal dan telah berkata kepada mereka, “Saya tidak punya masalah atas apa yang kalian kerjakan selama kalian gembira”, mengacungkan pistol-pistol mereka ke kepala ayah mereka atau kepala para pengganti ayah mereka dan menembak mati mereka, berkat berlakunya hukum ini.

Ketika saya berkata ilmu, maka yang saya maksud ialah sesuatu yang menyempurnakan insan manusia. Yang saya maksud bukanlah sekumpulan kekacauan perasaan sentimentalitas agama, saya tidak bermaksud penyakit masokisnya kristen, kata-kata kasih sayang bersanding dengan tindakan-tindakan kejam, kata-kata penebusan dan tindakan-tindakan pencurian harta kekayaan, yang saya maksud ialah sesuatu yang menjadikan insan manusia lengkap, dan dalam kelengkapannya itu terdapat sebuah kapasitas untuk mentransmisikannya kepada insan manusia lainnya. Inilah dimensi yang hilang dari insan manusia yang menjadi ilmunya ahli sufi sejak awal keberadaannya. Di Saragosa (Saragossa/Zaragosa, kota di Spanyol, sekitar 320 km barat laut dari Madrid) sekitar enam ratus atau tujuh ratus tahun lalu, seorang sufi besar bernama at-Tujibi (Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah, dikenal sebagi Avempace) menulis di sebuah kitab tasawuf asli Andalusia yang terkenal dengan menyatakan tentang Sufisme sebagai berikut: “Para sufi hari ini tidak seperti ahli sufi masa lalu, mereka itu pantas disebut sebagai geng kouskous (kouskous ialah makanan lezat tradisional Maroko)”, karena mereka itu selalu berlebihan memenuhi perutnya.

Lalu bagaimana situasinya hari ini? Tidak ada lagi pengajarannya. Islam itu senantiasa bergerak seperti seorang pengelana nomad yang selalu berkeliaran. Jika ia mati di suatu tempat maka ia bangkit di tempat lain. Islam itu sebatang tanaman hijau, ia tumbuh besar, berbunga, menghasilkan buahnya, layu dan mati. Betapa hebatnya mekar berbunganya, jika dari dedaunan keringnya seluruh kota Granada dapat hidup karena memperoleh upahnya (merujuk pada situasi ketika daras disampaikan, ‘sisa-sisa’ peradaban muslim di Granada ialah salah satu tujuan pariwisata besar di Spanyol, Peny.). Luar biasa! Kalian hidup di reruntuhan sesuatu yang terus saja memberi kalian uang dan dukungannya. Coba pikirkan bagaimana jika yang asli sahihnya masih ada, yang kini tersisa tinggal debu-debunya saja! Islam bukanlah budaya, walau ada para kardinalnya (sindiran kepada alim yang berlaku seperti pendeta). Islam itu bukan Arab, walaupun ada kelompok jesuit-nya (sindiran kepada kumpulan ulama yang berlaku amat sengit). Islam itu universal. Terdapat kaum Muslimin di Indonesia, di India, di Turki, di Rusia dan kini hadir lagi Muslimin di Spanyol. Ketika Islam telah matang maka khalayaknya membuat budayanya sendiri, hanya saja masyarakat ini memproduksi mesin-mesin dan satu masyarakat Islami memproduksi rijal, insan manusia, dan itulah elemen yang hilang hari ini.

Sekalipun kalian dibesarkan dalam cara hidup penderitaan kristen yang tidak fitrah itu, kalian tetap mampu melompat keluar darinya dan berdiri tegak, menjadi seorang insan manusia. Kalian belum menjadi seorang insan manusia hingga kalian beribadah kepada Pencipta-mu. Ini bukan klenik, ini bukan menimang patung-patung buatan dari kertas dan plastik, ini bukanlah mendentangkan genta* -itu tidak akan mengubahmu- bukan mendengarkan sebuah bahasa yang telah mati, bukan mengikuti pria-pria yang jalan hidupnya bahkan tidak ingin kalian ikuti. Bagaimana mungkin engkau mengikuti pria yang berselibat** jika engkau sendiri tidak berselibat? Islam itu din fitrah bagi pria, wanita dan kanak-kanak, dan semua memiliki kedudukannya sendiri. Kedudukan insan manusia itu ialah beribadah kepada Allah. Dalam kerangka inilah, di dalam Islam, di situlah ilmu ruhani yang menjadi urusannya Ibn al-Arabi.

Kita sudah mencapai titik gentingnya. Kalian tidak akan bisa mempelajari ilmu ini kecuali jika bagaimana cara hidupmu membuatnya jadi mungkin. Mari perhatikan contoh jelas berikut: jika kalian seorang pelari dan kalian berlari dua puluh mil, atau kalian itu seorang petinju dan berlatih di gimnasium sepanjang hari, lalu engkau berhenti dan selanjutnya melahap habis sepotong steik, kentang, buah dan selada, bukankah kalian akan muntah? Tubuhmu tidak bisa menanganinya. Kalian memiliki fisik sedemikian rupa sehingga ketika panganannya masuk, perutnya terpilin dan berkata, “Pergi dari sini, saya harus melaksanakan pekerjaan!” Tubuh sudah sesegeranya melakukan sesuatu yang berbeda, ia berusaha menata kembali otot-ototnya sehingga tidak siap memperoleh limpahan pasokan pangan. Begitupula dengan ilmu. Jika kalian hidup di masyarakat ini sesuai apa adanya, maka itu sendiri ialah sejenis penyakit. Itu harus diubah. Perubahan ini serupa dengan perilaku atlit tadi. Perhatikan si atlit dan si orang gemuk: si orang gemuk makan dan tidur dan menumpuk lemak di sekitar jantungnya dan dia kena serangan jantung dan wafat, sedang atlit ini telah melatih tubuhnya menuju kondisi yang lebih baik dan belum juga siap untuk makan. Makannya belakangan. Kita bisa katakan bahwa manusia moderen di jaman paska-industri elektronik ini seperti si orang gemuk yang kena serangan jantung itu.

Tidak saja ia gemuk dan berpenyakit jantung, dia pun setengah gila. Apakah itu setengah gila? Ia dikendalikan oleh khalayak dan mengerjakan apa yang diperintah mereka. Ia membenci khalayak itu namun ia menerima mereka. Ia berpikir bahwa segala sesuatu di masyarakatnya salah namun ia menerimanya. Ia mengira bahwa anak-anaknya pun sudah menentangnya dan ia menerima itu. Ia duduk di rumahnya, ia tidak pernah pergi keluar, atau lebih parahnya, ia duduk di klubnya seperti sesosok mayat memandang keluar jendela sambil membaca kolom opini politik lalu berkata, “Dunia sedang ambruk berkeping-keping.” Ia mengeluh kepada istrinya, bertengkar dengannya lalu tidak mau bicara kepadanya, memukuli wajah putranya lalu menghidupkan televisi. Menurut saya dia setengah gila. Saya pikir dia lebih gila dari pada mereka yang berada di rumah sakit jiwa, yang sedang berusaha untuk pulih kembali. Orang itu telah menyerahkan keberadaannya. Ia tidak lagi mempengaruhi kehidupan, ia tidak mempengaruhi kehidupan, kehidupan mempengaruhinya. Urusan ini bukan begitu! Dan liburan selama dua pekan tidak akan mengubahnya. Insan manusia itu sungguh amat berbeda dari hal itu.

Tidak ada transaksi sosial yang mampu menyisihkan kekhawatiranmu tentang mati. Tidak ada pengakuan dari mereka yang engkau hormati, yang mampu menghapuskan ketidakpuasan batinmu. Tidak ada pemuasan inderawi, baik secara seksual atau dengan makan atau melalui respon lebih baik seperti seni dan musik dan sebagainya (yang bisa menghilangkan rasa khawatir akan mati dan ketidakpuasan batin, Peny.). Tidak ada satupun darinya selain mengorkestrasi penderitaanmu. Setelah kenikmatan fisiknya, hadirlah ketidaknyamanan, kesepiannya. Setelah kenikmatan intelektual, hadirlah kekosongannya, kekeringannya. Engkau harus meraih sesuatu di dalammu yang berupa cahaya. Ini bukan hanya untuk orang-orang khusus, ini bukan hanya bagi sekelompok orang suci. Di Islam, ilmu ruhani ialah milik bersama mukminun. Tidak hanya itu, kita tidak harus menatap kepada salib fiktif belepotan darah sepanjang hari, kita tidak punya patung Madonna yang menangis, kita tidak menatap patung-patung dan terharu karenanya, atau oleh buddha yang di wajahnya bertanda simbol seperti sebuah kancing, tidak! Kita menatap hati-hati kita sendiri. Sesungguhnya, Islam ialah suluk murni bagi orang awam. Kemuliaan itu berada di dalam dirimu.

Saya sedang di Casablanca dan saya bertemu seorang pria amat rendah hati ahli sufi. Ia punya sebuah kios kecil di pasar tempat berjualan pita-pita bagi jubah wanita. Para wanita datang dan meminta pita ini-itu sambil berkata, “Bukan itu warnanya, bukan itu, bukan itu juga”, dan seterusnya, pria itu akan menawarkan dua puluh pita dan wanita tersebut akan berkata, “Tidak, saya tidak mau semua ini, saya mau warna lain saja. Saya mau yang itu.” Pria ini akan mengukur kain pitanya, memotongnya, menyatukannya, dikareti, dibungkus dengan kertas surat kabar kemarin, memberikan kepada wanita itu dan dibayar satu dirham dua puluh sen. Dirhamnya di masukkan ke kotak tabungannya dan uang recehnya disimpan di kotak yang lain. Dan makanan yang dibawanya, disimpannya di atas meja, diletakkannya di sisi kotak uang receh tadi. Setiap kali seorang pengemis melintas, ia masukkan tangannya ke dalam kotak itu, mengambil beberapa keping koin recehan dan memberikannya kepada si pengemis. Jika waktu shalat Dhuhur tiba, ia menggelar sajadahnya lalu di ruang sempit itu ia shalat kepada Rabb-nya. Ia sujudkan kepalanya di tumpukan debu yang ada di kios itu dan saat bangkit berdiri, debunya memenuhi wajahnya, hingga ia menyelesaikan shalatnya dan meneruskan kerjanya. Demikianlah adanya.

Sepekan kemudian saya berada di Fez. Saya berada di pemakaman Moulay Idries (Moulay Idris II ialah Idris Al-Azhar Ben Idris Ben Abdellah Al-Kamel rahimahullah, putra Idris I pendiri Kesultanan Maroko, memerintah Maroko pada 807-828, pendiri kota Fez) yang berupa sebuah ruang besar dengan kubah besar di atasnya sedemikian indahnya bergaya Maroko dan Andalusia. Makam sang wali ditutupi beludru dan banyak sekali orang yang masuk keluar. Tiba-tiba terjadi kegaduhan di pintunya dan saya melihat seorang pria diriungi orang-orang yang menciuminya dan mereka menyentuh kakinya dan mengganduli jubahnya dan menangis dan terisak-isak dan berkata, “Mohon doakan kami!” Mereka menciumi ujung-ujung jarinya dan dahinya dan saya bisa mendengar bahwa pria itu terisak-isak dan berkata, “Saya tidak ada! Saya bukan siapa-siapa, kenapa kalian mendatangiku? Biarkan saya sendiri! Saya tidak punya apa-apa untuk siapapun, hanya ada Allah! Allah, Allah, Allah!” Lalu khalayak itu bubar, dan itu pria, rijal yang sama (sang pemiliki kios di Casablanca). Di tempat kerjanya beliau yang paling rendah, namun di kalangan ahli ilmu beliau derajatnya amat tinggi.

Hidup itu demikian. Yang hebat mulia tidak tinggal di istana, walaupun bisa jadi ada seseorang yang hebat mulia tinggal di istana. Khalayak yang tidak punya apa-apa bisa jadi memiliki segalanya walaupun kebanyakannya jahil. Engkau harus memutuskan apakah dirimu itu seorang pria inderawi ataukah seorang rijal maknawi, seorang pria fisik atau seorang rijal ruhani, seorang pria lahiriah atau seorang rijal batiniah. Yang bersifat fisik pasti akan mati, segala sesuatu yang memiliki jasad akan punah. Yang tersisa hanya Wajah Allah.

Sallallahu alayhi wa sallam bersabda yang artinya, “Mati sebelum engkau mati.” Tatap Wajah Allah. Temukan sirmu sendiri. Hanya ada hamba dan Rabb, tidak ada selainnya. Hanya ada dirimu dan Allah dan tidak ada selainnya. Katakan pada saya kalau itu tidak benar! Katakan pada saya bahwa apapun yang ada di dunia ini kecuali bahwa itu untukmu! Engkau itu dirimu sendiri karena kebergantungannya, engkau bergantung kepada Allah karena Ia telah menciptakan segala ciptaan di sekitarmu dan engkau sungguh-sungguh hanya bergantung kepada-Nya. Dirimu sendiri bergantung pada bekerjanya jasad tubuhmu bagimu. Engkau telah mengkoloni tubuhmu, engkaulah penguasanya, penjajahnya, engkau seorang raja dan memiliki sebuah kerajaan yaitu tubuhmu dan engkau itu tergantung (dependen). Seluruhnya itu berasal dari Yang Maha Pencipta dan Ia-lah Al Ghaniy (Maha Kaya, Independen). Sir-nya yang tergantung (dependen) itu ialah Yang Maha Kaya – Al Ghaniy (Independen). Rahasiamu ialah Sir-Allah dan engkau harus mengetahuinya.

Jika engkau ingin tetap berada di kejahilan, engkau akan tetap jahil namun semakin engkau menua engkau harus sesegera mungkin mengetahuinya. Jika kalian seorang pemuda maka engkau harus melihat kepada anak-anak yang lebih kecil dan mengenali apa yang sudah diperlakukan terhadap mereka, lihatlah betapa mereka telah menjadi robot dan takutlah. Kalian harus berkata, “Saya harus segera menemukan ini karena saya tidak suka apa yang telah terjadi sebelum ini dan saya tidak suka dengan apa yang terjadi setelah saya! Saya harus menemukan siapa saya” – tidak secara psikologis, melainkan kalian harus menemukan diri ruhanimu. Apa yang akan kalian lakukan? Untuk apa itu? Apakah ada kepuasan di situ? Semuanya ada di dalam hati. Mengenalinya itu bukanlah sebuah seni, dan mengenalinya itu bukan suatu kebetulan, itu karena engkau menghendaki mengenalinya. Setiap orang memperoleh kehidupan yang layak diterimanya.

Ibn al-Arabi berkata begini: “Jika tirainya disibak, engkau akan melihat bahwa setiap orang mengirim dirinya sendiri ke Api (Neraka) atau ke Taman (Surga).” Engkau sendiri pelakunya, tidak bisa menyalahkan siapapun. Allah tidak menghukummu dengan azab, engkau sendiri mengirim dirimu ke Api atau engkau sendiri mengirim ke Taman. Engkau membuat susah hidupmu atau engkau membuatnya mudah, hanya saja bagi mereka yang besar, yang susah dan yang mudah itu sama saja. Yang berlawanan menjadi sama bagimu. Ahli sufi di Timur dikabarkan berkata bahwa jika seseorang wafat maka para sufi tersenyum, dan jika seorang bayi dilahirkan, mereka menangis. Bukankah itu sebuah cara pandang yang luar biasa, khususnya di hari-hari ini?

Apa yang bisa kita katakan di pertemuan pertama ini ialah bahwa ilmunya rijal terhebat sesudah para Nabi, orang Andalusia ini, berasaskan pada ilmu bahwa ia dependen (bergantung) dan Allah itu Independen (tidak bergantung). Allah tidak butuh sesuatu dan kita butuh segala sesuatu. Tidak ada otonomi – otonomi milik Allah. Seluruh manusia dependen, amat dependen, namun tidak pada ini atau itu, atau uang dari pasar bersama atau IMF. Insan manusia dependen pada sumbernya dan sumbernya bukanlah ibunya, sumbernya ialah Sang Pencipta-nya.

Engkau sendiri bersama Allah baik engkau suka atau tidak. Otonomi telah dilepaskan darimu sejak engkau dilahirkan dan akan dikembalikan saat engkau wafat. Di antara keduanya, engkau berada di penjara tubuhmu. Jika engkau menginginkan ruhmu terbebas, yang harus engkau lakukan ialah menempuh jalanya ahli sufi, dan menerima kenyataan bahwa engkau makhluk hidup dan akan mati – bukan sebagai sebuah ide melainkan melalui amal shalat. Lima kali sehari engkau sujudkan kepalamu di tanah, di hadapan Sang Maha Pencipta alam semesta, lima kali sehari engkau mengingatkan dirimu sendiri bahwa engkau ini seorang tahanan di dalam tubuhmu dan sedang sekarat di hadapanmu. Tahanan yang mengenali bahwa dirinya seorang tahanan itu sedang di perjalanan menuju kebebasan, dan tahanan yang tidak tahu bahwa dirinya itu seorang tahanan tidak akan pernah meloloskan diri.

 

Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Muqadim Malik Abdalhaqq Hermanadi

 


Catatan :

*) gen·ta n 1 alat bunyi-bunyian yang terbuat dari logam berbentuk cangkir terbalik dengan sebuah pemukul yang tergantung tepat di poros dalamnya, apabila pemukul itu mengenai dinding cangkir, cangkir tersebut akan menghasilkan bunyi-bunyian; 2 lonceng besar (dipasang di menara gereja dan sebagainya); 3 giring-giring (dipasang pada leher lembu dan sebagainya);

**) se·li·bat /sélibat/ n pranata yang menentukan bahwa orang-orang dalam kedudukan tertentu tidak boleh kawin (dalam gereja Katolik Roma, para rohaniwan yang telah ditahbiskan harus hidup membujang, tidak boleh kawin)